Minggu, 15 November 2009

BE ASSERTIVE !

KOMUNIKASI ARSETIF


Hasan Mustafa

Ketika penulis bertanya kepada hampir 30 peserta pelatihan tentang komunikasi asertif, tidak seorang pun yang bisa menjelaskan maknanya. Bisa jadi ketidaktahuan tersebut karena kata “asertif” merupakan kata yang diambil langsung dari kata bahasa Inggris “assertive”, bukan terjemahannya. Terjemahan kata “assertive” adalah “tegas” . Jadi komunikasi asertif adalah cara menyampaikan pesan kepada pihak lain dengan penuh ketegasan. Seringkali memang, penyedia (provider) jasa pelatihan tidak mau menterjemahkan kata “assertiveness” dengan ke dalam bahasa Indonesia, dengan tujuan agar jasanya lebih bisa dijual. “Assertiveness Training” merupakan judul pelatihan yang dianggap lebih menarik ketimbang “Pelatihan Ketegasan”.

Dalam berkomunikasi dengan pihak lain, seseorang bisa bergaya pasif, agresif, dan asertif. Berkomunikasi dengan gaya pasif ditandai dengan perilaku-perilaku yang cenderung seolah-olah menurut atau setuju pada kehendak/pendapat orang lain, padahal sesungguhnya tidak. Kata-kata “ya”, “saya setuju”, “saya ikut saja”, “okay” , maaf, dan kata-kata lain dan bahasa tubuh yang mengandung unsur keterpaksaan, mengindikasikan adanya kompleks rendah diri seseorang di hadapan orang lain ketika berkomunikasi . Tidak jarang kita mendengar bagaimana gaya komunikasi bawahan ketika berkomunikasi dengan atasannya. “Siap pak, baik pak, ya pak, bagaimana bapak saja, setuju pak”….. dan lain sebagainya, sambil membungkuk dan mengangguk-anggukkan kepala. Esensi gaya pasif adalah mengalah dengan terpaksa.

Gaya agresif kebalikannya dengan gaya pasif. Rasa superior ketika berkomunikasi dengan pihak lain diungkapkan dengan kata-kata dan juga bahasa tubuh. Intensi atau maksud bergaya agresif untuk menunjukan bahwa dirinya lebih kuat, lebih berkuasa daripada pihak lain yang sedang berkomunikasi dengannya ditampilkan secara kentara. Misalnya, “kerjakan segera, ambil itu, letakkan di sana, bawa ke sini, jangan begitu, awas ya, kamu harus lakukan, “ merupakan kata-kata yang seringkali diucapkan bersamaan dengan bahasa tubuh dan ekspresi wajah tertentu. Esensi gaya agresif adalah saya menang, kamu kalah. Kamu harus mengikuti apa yang saya katakan.l

Gaya asertif merupakan gaya komunikasi yang sewajarnya, dalam artian tidak menyembunyikan atau menekan perasaannya sendiri dan sekaligus menghargai serta memberikan tempat bagi perasaan pihak lain yang sedang berkomunikasi denganya. Dia akan mengatakan “tidak” ketika dia merasa atau berpikir “tidak”, namun dengan bahasa, nada suara dan bahasa tubuh yang tidak membuat pihak lain tersinggung. Dia juga akan mengatakan “ya” ketika hati kecilnya memang berkata seperti itu, namun dengan nada dan bahasa tubuh yang tidak merendahkan dirinya di hadapan orang lain yang sedang berkomunikasi dengannya. Tidak ada kepura-puraan, atau keraguan dalam mengungkapkan pikiran dan perasaannya kepada orang lain. Jelas, tegas, apa yang dipikirkannya , dirasanya, diucapkannya juga dengan cara dan bahasa yang menilai orang lain setara dengan dirinya, tidak lebih atas atau lebih bawah. Tidak ada kompleks rendah diri atau tinggi hati.

Gaya mana yang lebih baik?

Secara umum, dalam berkomunikasi upayakan selalu menggunakan gaya asertif, karena sejatinya gaya inilah yang natural, tidak dibuat-buat. Namun, kadangkala dalam situasi tertentu justru gaya pasif atau agresif yang “terpaksa” harus kita tampilkan. Mengapa? Karena dalam situasi tersebut memang gaya tersebutlah yang paling efektif. Misalnya ketika kita berhadapan dengan situasi di mana kalau kita bergaya asertif justru berakibat tidak baik buat diri kita, tidak ada salahnya kita bergaya pasif. Atau bahkan mau tidak mau kita harus bergaya agresif ketika bergaya asertif ternyata sulit diterima pihak lain.

Gaya pasif bisa saja kita aplikasikan dalam situasi : (1) masalah atau pesan yang sedang dikomunikasikan sifatnya sepele, (2) kalau bergaya tegas akan mengakibatkan konflik yang tidak perlu, (3) ketika emosi makin meningkat, dan kita ingin menenangkan pikiran pihak lain, (4) status kita memang sangat lemah. Sedangkan gaya agresif akan efektif kita gunakan ketika (1) keputusan harus diambil secara cepat, (2) hal yang ingin kita sampaikan benar-benar sesuatu yang baik dan harus diterima oleh pihak lain, (3) kondisinya darurat/mendesak.

Gaya pasif dan agresif yang sesekali digunakan bukanlah sesuatu yang negatif. Seharusnya kedua gaya tersebut jangan dijadikan kebiasaan dalam berkomunikasi dengan pihak lain. Kebiasaan atau “habit” yang harus dikembangkan adalah gaya berkomunikasi asertif. Be Assertive!!

Bandung, November 2009

Sabtu, 14 November 2009

MATRIX MANAJEMEN WAKTU

Sempatkan waktu kita untuk selalu mengerjakan tugas-tugas penting,
melalui Matrix Manajemen Waktu


Hasan Mustafa

       Apakah Anda pernah merasa banyak sekali pekerjaan yang harus Anda selesaikan, padahal waktu yang Anda miliki terbatas?. Jika hal itu sering terjadi, sudah tiba saatnya Anda mempelajari matrix pengelolaan waktu di bawah ini. Matrix Manajemen Waktu terdiri dari empat Quadran. Quadran I berisikan tugas-tugas Penting dan Mendesak, Quadran II tugas-tugas yang Penting tapi Tidak Mendesak, Quadran III kegiatan yang Mendesak tapi Tidak Penting, dan Quadran IV adalah kegiatan yang Tidak Penting dan juga Tidak Mendesak.

.... Besok Anda harus mempresentasikan laporan di depan atasan dan klien Anda, hari ini Anda masih belum juga menyusunnya…. Oh, rasanya … tertekan, jantung berdebar, adrenalin naik. Anda mulai stres. Lalu Anda berpikir: “Andai saja saya tugas tersebut tidak saya tunda mengerjakannya….” Banyak di antara kita yang pernah mempunyai pengalaman seperti itu di tempat kerja dan di tempat kehidupan lainnya. Apa pun yang kita lakukan, rasanya tidak pernah ada waktu yang cukup . Matriks manajemen waktu bisa membantu kita untuk mengendalikan kegiatan-kegiatan Anda, sehingga waktu yang ada mencukupinya. Dan yang lebih utama: STRES ANDA MASIH DI AMBANG NORMAL. Matrix manajemen waktu di mulai dengan penetapan tugas-tugas atau pekerjaan apa yang Anda nilai “penting/tidak penting” dan “mendesak/tidak mendesak” dalam kehidupan Anda.
      Ketika pertama kalinya saya menggunakan matrix manajemen waktu, rasanya apa-apa yang saya lakukan ada di Quadran I, yaitu : “Penting dan Medesak”, dan saya merasa tertekan atau stress. Lalu saya berpikir. “Benar juga, ketika kita harus mengerjakan suatu tugas yang penting dalam waktu yang terbatas dan segera harus selesai, pasti kita akan merasa stres”. Oleh karena itu, strateginya harus diubah, kita harus pindah dari Quadran I ke Quadran II. Yaitu mengerjakan sesuatu yang penting namun tidak mendesak. Ketika kita berada di Quadran II, kita akan bisa mengerjakan tugas-tugas yang penting dengan cara tenang, tidak tergesa-gesa, sehingga tidak merasa tertekan.

Pertanyaannya:
     Bagaimana caranya agar kita bisa pindah dari Quadran I ke Quadran II? Baiklah. Jawablah pertanyaan-pertanyaan di bawah ini.

Tugas tersebut penting atau tidak penting?
      Suatu tugas dinilai penting ketika tugas tersebut berkaitan langsung dengan TUJUAN yang ingin kita capai dalam kehidupan personal dan profesional. Punya waktu cukup bersama keluarga yang kita cintai, pengembangan di bidang pekerjaan dan karier, senantiasa aktif dalam kondisi sehat, bisa jadi merupakan tujuan professional dan personal bagi diri kita. Itulah mimpi atau visi hidup kita. Kegiatan-kegiatan yang berkontribusi pada visi kita ada di Quadran I dan II – kegiatan yang penting, tidak boleh diabaikan!
      Sebaliknya, menghabiskan waktu untuk mengirim e-mail berkepanjangan, sms-antanpa makna, menonton acara gossip di TV , bertelepon ria, menghadiri pertemuan yang tidak ada kaitan dengan tujuan utama hidup kita, adalah kegiatan-kegiatan yang tidak terlampau penting. Kegiatan-kegiatan tersebut ada di Quadran III dan IV. Namun jika memang aktivitas tadi tidak berkaitan dengan pengembangan profesi atau pribadi kita – misalnya ketika kita adalah seorang kritikus acara TV, maka nonton TV seharian adalah kegiatan penting, jadi ada Quadran I atau II.

Apakah tugas-tugas tersebut mendesak?
      Apakah kita cenderung bereaksi (reaktif) terhadap lingkungan di sekeliling kita, atau kita cenderung pro-aktif? Makin reaktif, makin banyak tugas yang sifatnya mendesak. Tugas-tugas yang mendesak adalah tugas yang tidak bisa ditunda sama sekali. Segera harus dilakukan. Telepon yang berdering, bos yang tiba-tiba memanggil Anda untuk rapat, atau mengantarkan seseorang pergi berobat ke dokter, atau hal-hal lain yang membuat kita harus mengerjakannya segera.
       Tugas-tugas yang tidak mendesak adalah tugas yang tidak menuntut untuk segera dilakukan. Nonton TV, baca koran, baca novel, berkunjung ke tetangga, rekan, ngobrol santai, dan lain sebagainya. Artinya, kalaupun tidak dilakukan pada saat itu, masih bisa dilakukan di lain waktu.

Quadran II
       Dari sudut pandang manajemen waktu, kita harus lebih banyak berada di Quadran II, bersifat proaktif, senantiasa melakukan pekerjaan yang penting bagi kehidupan kita, tanpa tergesa-gesa, dikejar-kejar waktu. Kegiatan-kegiatan di Quadran II umumnya merupakan kegian-kegiatan preventif atau pencegahan. Misalnya memeriksa kondisi alat alat kerja (komputer), membangun hubungan antar pribadi, merencanakan kegiatan, ikut program pelatihan, cuti, berlibur. berolah raga, membaca buku bermutu, beres-beres rumah, kerja rutin sehari-hari. Misalnya, kita harus mempresentasikan sesuatu hal yang penting minggu depan. Hari ini pekerjaan tersebut telah kita mulai sedikit demi sedikit, hati-hati dan hasilnya bisa lebih berkualitas.

Pindah dari Quadran II ke Quadran I akan meningkatkan stress.
       Ketika kita berada di Quadran I, sebagian besar dari kegiatan kita, kita lakukan dengan tergesa-gesa, dan harus segera. Intinya pekerjaan yang harus dilakukan dengan segera. Pastinya hal tersebut bisa memuat kita stress dan hasilnya pun seringkali kurang memuaskan berbagai pihak.
      Di bawah ini ada hal-hal penting yang harus dikerjakan dengan cara proaktif (Quadran II) Namun ketika kita tidak lakukan, maka kegiatan tersebut akan pindah ke Quadran I, sehingga membuat kita merasa tertekan.
• Membangun hubungan baik dengan keluarga dan teman-teman
• Bagi manajer, mengembangkan kemampuan professional para pegawainaya. Bagi kita mengembangkan     pengetahuan dan keterampilan kita secara rutin
• Berlatih/olahraga dan makan makanan yang sehat.
• Secara rutin menjaga peralatan kerja kita – komputer, kendaraan, dlsb.
• Menyisihkan waktu khusus untuk santai, rekreasi, istirahat
       Semua contoh kegiatan di Quadran II tadi, mempunyai tujuan preventif atau pencegahan. Jika hal tersebut tidak dilakukan, maka kegiatan tersebut berpindah ke Quadran I, dan membuat kita tidak nyaman.

Quadran III
       Di Quadran ini, tugas kita mendesak namun tidak penting. Ketika kita sedang mengerjakan sesuatu hal yang penting secara seksama (kita ada di Quadran II) , tiba-tiba ada rekan kita mengajak ke luar kantor untuk berbelanja sejenak ke toko di sebelah kantor. Atau menjawab telepon iseng yang berdering di HP atau telepon di meja kita, Segera mengikuti rapat kantor yang tidak punya kaitan langsung dengan pekerjaan kita. Kalau hal tersebut kita lakukan maka kita bisa masuk ke Quadran I
      Berani menolak ajakan teman, berani untuk tidak ikut bergabung dalam kegiatan lain ketika kita sedang berkonsentrasi pada satu kegiatan, membiasakan diri tidak “multitasking”, dapat mencegah kita masuk ke dalam Quadran III, dan tetap berada di Quadran II

Quadran IV
     Bentuk kegiatan di Quadran ini adalah kegiatan yang tidak penting dan tidak mendesak bagi tujuan hidup personal maupun professional. Sesekali sebagai bentuk “intermezzo” tidak ada salahnya, namun jangan dijadikan kebiasaan. Menggosip, saling curhat, nonton sinetron, menonton film, arisan, bersosialisasi, merupakan kegiatan yang dapat dikategorikan jatuh ke dalam Quadran IV.

Gunakan matrix manajemen waktu, dan senantiasa berada di Quadran II.
     Mulai saat ini kita harus mempunyai pikiran yang jernih, bahwa Quadran II adalah daerah di mana kita akan melakukan kegiatan paling efektif dalam upaya mengapai tujuan hidup personal atau pun profesional. Jadi apa yang harus kita lakukan agar tetap berada di Quadran II sebanyak mungkin?
1. Dari daftar kegiatan kita, coba hilangkan atau kurangi kegiatan yang tidak pernting bagi kehidupan kita.
2. Bangun, bentuk visi dan nilai hidup kita. Kehidupan yang bagaimana yang kita impikan. Visi tersebut akan memberikan arahan untuk memrioritaskan kegiatan kegiatan dan waktu kita.
3. Coba susun jadwal kegiatan mingguan dan harian yang relevan dengan visi atau mimpi kita.
4. Jangan menunda pekerjaan, jangan mencari kesempurnaan, jangan enggan mengatakan “TIDAK”. Hindari “time waster”, buang-buang waktu.

Ingat: Esensi Manajemen Waktu bukan mengelola waktu karena waktu tak mungkin dikelola. Satu hari adalah 24 jam, tidak bisa ditambah atau dikurangi. Yang bisa dilalukan oleh kita adalah mengelola kegiatan kita sendiri, dicocokan dengan waktu yang telah tersedia. MENGELOLA DIRI SENDIRI atau SELF-MANAGEMENT, itulah sejatinya manajemen waktu.


Bandung, November 2009

Jumat, 13 November 2009

HUBUNGAN SIKAP DENGAN MOTIVASI

SIKAP DAN MOTIVASI


Hasan Mustafa

Sikap dan motivasi merupakan dua konsep yang berbeda namun memiliki kaitan yang sangat erat. Dalam berbagai buku dan artikel yang membahas tentang sikap, sebagian besar akan memberikan pengertian sebagai perasaan suka, tidak suka, atau juga tidak memihak terhadap obyek atau subyek tertentu. Predisposition or a tendency to respond positively or negatively towards a certain idea, object, person, or situation. Attitude influences an individual's choice of action, ( http://www.businessdictionary. com/definition/attitude.html) , An attitude is a hypothetical construct that represents an individual's degree of like or dislike for an item. Attitudes are generally positive or negative views of a person, place, thing, or event-- this is often referred to as the attitude object. http://en.wikipedia.org /wiki/ Attitude _(psychology). Oleh karena itu kita sering mendengar sikap yang negatif, sikap positif atau juga sikap yang netral . Walau pun secara teoritis komponen sikap adalah kognisi, afeksi, dan konasi - (1) Affective: emotions or feelings. (2) Cognitive: belief or opinions held consciously. (3) Conative: inclination for action.- namun pada akhirnya afeksi atau perasaan lah yang yang paling menonjol.

Banyak hasil penelitian yang kemudian ditulis ulang dalam bentuk teori yang menyatakan bahwa sikap adalah predisposisi perilaku- seperti yang diutarakan sebelumnya. Artinya melalui sikap kita bisa memprediksi perilaku. Seseorang yang bersikap negatif terhadap suatu tugas tertentu mempunyai kecenderungan untuk tidak mau mengerjakan tugas tersebut. Demikian pula sebaliknya ketika seseorang mempunyai sikap positif.

Motivasi banyak diartikan sebagai dorongan atau gerakan yang ada dalam diri seseorang untuk melakukan sesuatu hal. Motivation is the internal condition that activates behavior and gives it direction; and energizes and directs goal-oriented behavior.en.wikipedia.org/wiki/Motivation Jika dorongannya kuat, kita artikan bahwa seseorang tadi mempunyai motivasi yang tinggi, kuat, besar. Namun ketika dorongannya lemah maka kita bisa mengatakan motivasi seseorang tadi untuk melakukan sesuatu rendah. Dalam banyak hal, tidak jarang motivasi diterjemahkan dengan kata “kemauan“ . Willingness of action esp. in behavior; Kinerja seseorang akan baik jika kemampuan (ability) dan kemauan (motivation) orang tersebut memadai.

Hubungan sikap dengan motivasi
Ketika kita memaknai sikap sebagai kecenderungan berperilaku dan motivasi adalah dorongan (kemauan – willingness) untuk berperilaku, tampak jelas bahwa kedua konsep tersebut berhubungan sangat erat dengan perilaku (behavior). Seorang laki-laki yang mempunyai sikap negatif terhadap seorang perempuan tertentu cenderung tidak mempunyai kemauan (motivasi) untuk dekat apalagi mencintai perempuan tersebut. Jadi sikap seseorang yang negatif atau positif terhadap sesuatu (obyek/subyek) dapat diinterpretasikan secara kuat bahwa seseorang tersebut mau (termotivasi) atau tidak mau (tidak termotivasi) melakukan sesuatu terhadap obyek atau subyek tertentu tadi.

Kepuasan kerja dan motivasi kerja.
Sikap dan motivasi merupakan konsep yang sangat luas, bisa diaplikasikan di sembarang tempat, dengan istilah yang berbeda-beda. Satu tempat yang umum yang banyak membicarakan motivasi adalah di tempat kerja. Di tempat kerja, motivasi kerja merupakan sesuatu yang berperan penting dalam keberhasilan organisasi kerja. Dalam berbagai macam tulisan atau artikel dikemukakan bahwa hal-hal umum yang mampu memunculkan motivasi kerja adalah, pekerjaan atau tugas-tugas itu sendiri, gaji/upah/insentif, atasan, rekan kerja, kondisi kerja, system promosi - Salary, benefits, working conditions, supervision, policy, safety, security, affiliation, and relationships are all externally motivated needs. (Wendy Pan, 2009) .

Mengapa hal-hal terebut merupakan sesuatu yang bisa membuat pegawai termotivasi untuk bekerja, jawabnya sederhana, karena hal-hal tersebut lah yang memang sejatinya dibutuhkan (needs) oleh pegawai. Konsep ”needs” merupakan salah satu cara yang banyak dipelajari guna memahami motivasi. (Wexley, 1977) Pegawai yang gaji atau upahnya bisa memenuhi kebutuhannya, cenderung mempunyai motivasi kerja lebih tinggi dibanding yang tidak atau kurang terpenuhi. Begitu pula dengan pegawai yang ditempatkan pada pekerjaan yang bisa memenuhi kebutuhannya.

Wendy Pan, dalam tulisannya tentang motivasi kerja menjelaskan bahwa :” An employer or leader that meets the need on the Howletts Hierarchy” will see motivated employees and see productivity increase” Yang dimaksud dengan Howletts Hierarchy adalah jenjang kebutuhan mulai dari intrisik sampai dengan ekstrinsik - achievement, advancement, recognition, growth, responsibility, and job nature are internal motivators. - Salary, benefits, working conditions, supervision, policy, safety, security, affiliation, and relationships are all externally motivated needs.

Konsep yang mampu menggambarkan terpenuhinya kebutuhan pegawai atas berbagai kebutuhan di atas dikenal dengan nama “kepuasan kerja”. Kepuasan kerja adalah sikap (rasa suka atau tidak suka) pegawai terhadap dimensi pekerjaan. Dimensi-dimensi pekerjaan yang secara umum telah diterima oleh berbagai pakar disiplin Perilaku Organisasi atau Manajemen Sumberdaya Manusia adalah : (1) Pekerjaan itu sendiri (work it self), gaji atau upah (pay), pengawasan dari atasan (supervision), rekan kerja (co-workers), sistem promosi (promotion) dan lingkungan kerja (working conditions). Jika pegawai merasa tidak puas terhadap dimensi-dimensi pekerjaan tesebut, bisa dimaknakan bahwa kebutuhan dalam bekerja tidak terpenuhi. Ketika kebutuhan kerja tidak terpenuhi maka motivasi kerja pun rendah, demikian pula sebaliknya.

Untuk memperkuat pendapat tadi, pernyataan berikut ini dapat dijadikan acuan. Job satisfaction represents several related attitudes which are most important characteristics of a job about which people have effective response. These to Luthans (1998) are: the work itself, pay, promotion opportunities, supervision and coworkers. Satu pendapat lagi yang mendukung hubungan antara kepuasan kerja dengan motivasi: “An employee’s motivation to work is continually related to job satisfaction of a subordinate. Motivation can be seen as an inner force that drives individuals to attain personal and organization goals” (Hoskinson, Porter, & Wrench, p.133).

Dari uraian di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa ada kaitan langsung antara sikap terhadap pekerjaan (kepuasan kerja) dengan motivasi kerja. Motivasi kerja pegawai tinggi ketika mereka merasa puas bekerja. Luthans (1998) asserts that motivation is the process that arouses, energizes, directs, and sustains behaviour and performance. That is, it is the process of stimulating people to action and to achieve a desired task. One way of stimulating people is to employ effective motivation, which makes workers more satisfied with and committed to their jobs.. Artinya agar pegawai senantiasa termotivasi untuk bekerja maka mereka harus memiliki kepuasan kerja yang tinggi. Dengan demikian ketika seseorang ingin mengetahui tingkat motivasi kerja, maka salah satu cara adalah dengan mengukur tingkat kepuasan kerja.


Bandung, November 2009