Minggu, 21 Agustus 2011

Penelitian Kausal dan Korelasi


Hati-hati dengan judul penelitian yang menggunakan kata “PENGARUH, EFEK, DAMPAK  X TERHADAP Y”

Hasan Mustafa

Judul penelitian ilmiah umumnya mencerminkan isi dan tujuan utama penelitian itu sendiri, bahkan bisa juga menunjukan kira-kira metode penelitannya. Ketika kita membaca laporan penelitian yang berjudul : “Hubungan antara X dan Y”, predikisi kita tentang isi dan metode penelitian akan berbeda dengan laporan penelitian yang berjudul “Pengaruh X terhadap Y. Setelah kita pelajari isi laporan penelitian tersebut, kita bisa menilai apakah  judul penelitian tersebut sudah tepat atau tidak. 

Tulisan pendek ini bertujuan untuk memberikan sedikit informasi yang berkaitan dengan judul penelitian yang menggunakan kata “pengaruh”, “dampak”, atau “efek”, padahal isi laporannya ternyata tidak menganalisis pengaruh, dampak atau efek sesuatu variabel terhadap variabel lain, melainkan lebih ke arah analisis hubungan atau korelasi.
Bagi pembaca (pembimbing, penguji, pembahas) yang kurang kritis, hal tersebut tidak akan memunculkan masalah bagi penelitinya, karena mereka dapat menerima pemikiran analisis kausal (pengaruh, dampak, efek) dipersamakan dengan analisis korelasional (hubungan).  Namun bagi yang kritis masalah akan muncul. 

Korelasi tidak sama dengan kausal

"Correlation does not imply causation" is a phrase used in science and statistics to emphasize that correlation between two variables does not automatically imply that one causes the other (though it does not remove the fact that correlation can still be a hint, whether powerful or otherwise[1][2]).  Intinya, ketika satu variabel berkorelasi dengan variabel lainnya, tidak sertamerta bahwa di dalamnya ada hubungan kausalitas, walau hubungannya sangat kuat atau sebaliknya.
The phrase's opposite, correlation proves causation, is a logical fallacy by which two events that occur together are claimed to have a cause-and-effect relationship. The fallacy is also known as cum hoc ergo propter hoc (Latin for "with this, therefore because of this") and false cause. By contrast, the fallacy post hoc ergo propter hoc (after this, therefore because of this) requires that one event occur before the other and so may be considered a type of cum hoc (fallacy)   (Wikipedia, the free encyclopedia).

Jika  antara dua variabel terjadi korelasi, kemudian selalu diartikan sebagai bukti adanya hubungan kausalitas, maka sudah terjadi kesalahan logika. Benar, dalam suatu kausalitas selalu ada korelasi, namun dalam korelasi tidak selalu terjadi kausalitas.

Rumus Statistik
Tidak jarang peneliti "menyalahgunakan" (biasanya tanpa disadari) rumus statistik guna menyatakan ada tidaknya pengaruh antara satu variabel terhadap variabel lainnya. Rumus statistik yang kerap digunakan untuk menjastifikasi adanya pengaruh variabel satu dengan variabel lainnya antara lain adalah regresi. Memang benar, salah satu fungsi dari rumus tersebut adalah menghitung besar/kecilnya-nya pengaruh (dan juga bisa mengetahui besar/kecil-nya hubungan), tetapi bukan menentukan ada tidaknya pengaruh.  Ada tidaknya pengaruh satu variabel terhadap variabel lain  tidak ditentukan oleh rumus regresi, namun oleh metode penelitiannya.

Misalnya, judul penelitiannya “Pengaruh merokok terhadap kanker”. Untuk mengujinya peneliti mengambil sejumlah sampel. Dari sejumlah sampel tersebut (pasien yang menderita kanker), diukur frekuensi merokok (x-independent variable) dan diukur berat-ringannya kanker (y-dependent variable). Setelah itu nilai x dihubungkan dengan nilai y, dengan menggunakan rumus regresi. Hasilnya lalu diinterpretasikan bahwa x berpengaruh/tidak berpengaruh terhadap y. Atau pasien menderika kanker disebabkan/tidak disebabkan karena mereka merokok, atau rokok sebagai penyebab/bukan penyebab kanker.  Satu kesimpulan yang mengandung kekeliruan logika “cum hoc ergo propter hoc”, mengapa? Karena esensi metode penelitiannya adalah korelasional, yaitu dengan cara menemukan data x (frekuensi merokok) dan data y (kanker), lalu data x dan data y dihubungkan dan dicari besarannya melalui rumus regresi. Menghubungkan nilai dua variabel yang berbeda, bukan mencari apakah ada pengaruh, dampak, efek merokok terhadap kanker.

Jika peneliti benar-benar ingin mengetahui apakah merokok menyebabkan kanker dan menentukan judul :”Pengaruh merokok terhadap kanker” maka metode penelitiannya harus eksperimental, bukan korelasional. Dicari sekelompok sukarela (responden) yang benar-benar tidak menderita kanker (sampel penelitian), lalu dikarantina, (agar mereka tidak mengonsumsi makanan lain yang bisa mengakibatkan kanker) kemudian dalam waktu tertentu diwajibkan kepada mereka untuk merokok. Setelah itu diperiksa kankernya.  Jika peneliti ingin menggunakan rumus regresi maka data x adalah kanker setiap responden sebelum merokok dan data y adalah kanker setiap responden setelah merokok. Jadi data x dan y adalah data variabel  yang sama (kanker) dari orang (responden) yang sama pula. Pretest – Treatment – Posttest.  Hasil perhitungan akan menunjukan berapa besaran pengaruh merokok terhadap kanker. Bisa kecil sekali sampai besar sekali, atau dari yang tidak signifikan sampai dengan signifikan. 

Sangat berbeda dalam metode penelitian ketika yang ingin diketahui adalah “adakah hubungan antara kebiasaan merokok dengan kanker?”. Untuk memperoleh ada tidaknya hubungan di antara dua variabel tersebut, peneliti harus mempunyai data variabel kebiasaan merokok – misalnya diukur dari jumlah rokok yang dihisap -  dan data derajat keparahan penyakit kanker dari responden yang mempunyai kebiasaan merokok tadi. Kemudian kedua data tersebut dihubungkan dengan menggunakan rumus statistika tertentu. Ketika hasilnya ternyata menunjukan adanya hubungan yang signifikan (makin banyak rokok yang dihisap makin tinggi derajat keparahan kankernya) maka tetap tidak dapat dikatakan bahwa derajat keparahan kanker disebabkan karena kebiasaan merokok, walaupun mungkin masuk akal. Oleh karena itu judul penelitiannya seharusnya “Hubungan Antara Kebiasaan Merokok Dengan Kanker”, bukan “Pengaruh Merokok Terhadap Kanker”

Kesimpulan
Tidak ada larangan memberikan judul “Pengaruh X terhadap Y”, namun perlu dipertimbangkan konsekuensi dari judul tersebut dalam metode penelitiannya. Hanya penelitian eksperimentalah yang layak diaplikasikan jika ada keinginan untuk mengetahui apakah nilai satu variabel menyebabkan atau berpengaruh/berdampak terhadap nilai variabel lain. Jika ternyata metode penelitiannya bukan eksperimental melainkan korelasional maka seharusna judul penelitian diganti menjadi “Hubungan antara X dengan Y”.

Sumber:
http://en.wikipedia.org/wiki/Correlation_does_not_imply_causation


Rabu, 17 Agustus 2011

Korupsi, Pembangunan Manusia dan Perkembangan Moral


Korupsi, Pembangunan Manusia, dan Perkembangan Moral
Hasan Mustafa
Pengantar
      Tulisan singkat ini disusun atas permintaan panitia yang bertanggungjawab untuk melaksanakan OSPEK 2011 Fakultas Ilmu Sosial dan Politik Universitas Katolik Parahyangan, yang bertema “Spectrum 2011” . Dalam TOR (Term Of Reference) Seminar Korupsi yang disusun oleh panitia tersebut dikemukakan bahwa tujuan dasar seminar adalah “pembentukan karakter serta pendewasaan diri” para mahasiswa baru. Topik “korupsi” dipilih karena dinilai bahwa korupsi merupakan “musuh utama bangsa Indonesia”, oleh karena itu pencegahan korupsi dianggap cara yang tepat dibanding pemberantasannya. Tulisan ini akan mengungkap secara singkat pengertian tentang korupsi, akibat dari adanya korupsi terhadap pengembangan manusia Indonesia, dan satu cara pencegahan agar mahasiswa tidak melakukan perbuatan “korupsi”.

- CPI
     Banyak pengertian atau definisi tentang korupsi, namun kali ini hanya dipilih satu, yaitu pengertian yang dikemukakan oleh lembaga yang dikenal dengan nama “Transparency International World Corruption” yang memonitor dan memberikan peringkat korupsi di 178 negara, dan kemudian dikenal dengan nama CPI (Corruption Perceptions Index). Menurut lembaga ini, korupsi adalah penyalahgunaan kekuasaan guna keuntungan pribadi yang terjadi di sektor publik dan swasta. CPI berfokus pada korupsi di sektor publik, atau korupsi yang melibatkan pejabat publik, pegawai negeri atau politisi. Survei digunakan untuk menyusun indeks termasuk pertanyaan yang berkaitan dengan penyalahgunaan kekuasaan publik dan fokus pada: suap pejabat publik, suap dalam pengadaan publik, penggelapan dana publik. Dengan demikian, mencakup korupsi di aspek administratif dan politik.
       Bagi yang sempat membaca koran-koran nasional atau pun memirsa dan mendengarkan televisi nasional, berita tentang korupsi  merupakan topik yang tidak aneh karena  ramai dibahas hampir setiap hari. Nama-nama M. Nazaruddin, Gayus Tambunan, Nunun Nurbaeti, Miranda Goeltom dan lain-lainnya 43 (menurut data ICW) termasuk orang orang yang diduga dan bahkan  beberapa di antaranya sudah dijadikan tersangka sebagai koruptor. Jika ditambah dengan yang sudah dipenjara dan mungkin yang sudah tiada, pasti jumlahnya bertambah banyak.
     Mengapa korupsi bisa terjadi? Jawabnya bisa bermacam-macam tergantung dari sudut pandang yang dipakainya. Jika sudutpandangnya adalah pada sipelaku atau koruptor maka korupsi terjadi karena melulu akibat dari perilaku individu. Sifat ketidakjujuran, sifat egosentrisme, sifat a-sosial, sifat ingin cepat kaya, merupakan contoh contoh yang dianggap sebagai penyebab seseorang menjadi koruptor. Namun jika perspektif lingkungan yang dipakai maka lingkunganlah yang dianggap sebagai pencetus utama dari adanya korupsi. Misalnya, korupsi di Indonesia sudah dianggap sebagai satu bentuk budaya maka jika ingin korupsi diberantas, budaya tersebut harus di”musnahkan”. Atau kalau sistem hukum sebagai penyebabnya maka sistem hukumnya diperbaiki. Ada juga perpektif yang bersifat konvergensi, yaitu menggabungkan prespektif individu dengan perspektif lingkungan. Maknanya koruptor tercipta karena sifat dari individu tersebut yang didukung oleh lingkungan.
       Menemukan dengan tepat penyebab utama dari perilaku korupsi tidaklah mudah. Oleh karena itu pula cara menghilangkannya pun sama, tidak mudah. Tidak ada satu pun manusia yang normal akan mengatakan bahwa korupsi itu baik, namun tidak sedikit pula di antara mereka yang secara sadar melakukan perbuatan yang tidak baik tersebut. Korupsi bisa terjadi di mana mana, bahkan di tempat yang dianggap “suci” sekali pun, misalnya di institusi pendidikan, keolahragaan, atau juga keagamaan.
      Di bawah ini disajikan satu tabel yang ternyata bisa dijadikan salah satu acuan untuk memahami hubungan antara korupsi dengan variabel-variabel “X” lainnya. Paparan ini dikemukakan oleh Daniel W. Munzert dalam sebuah tesis yang berjudul “Corruption and Education: An Interdisciplinary Approach”
Variabel “X”
Korelasi Positif
Korelasi Negatif
Perkembangan Ekonomi

X
Demokrasi Yang Sudah Lama Terbentuk

X
Kebebasan Pers Yang Luas

X
Peran Wanita di Pemerintahan

X
Perdagangan Internasional Terbuka

X
Pedapatan GDP Perkapita

X
Tingkat Pendidikan Bangsa

X
Organisasi dan Budaya Individualisme

X
Organisasi dan Budaya Yang Menghindari Ketidakpastian

X



Organisasi dan Budaya Yang “Maskulin”
X

Organisasi dan Budaya Kekuasaan
X

Aturan-aturan Bisnis Yang Banyak Diitervensi
X

Inflasi Yang Tak Terprediksi
X

Tergantung Pada Minyak Ekspor
X

Institusi Yang “BAD”
X

Lingkungan Sosial Politik Yang Memberikan Peluang Tumbuhna Monopoli
X

Sumber: Daniel W. Munzret “Corruption and Education -  An Interdisciplinary Approach” , 2010
Penjelasan: Korelasi Negatif artinya jika variabel “X” baik/tinggi (+) maka korupsi akan berkurang (-);Misalnya, Jika korupsi tinggi (+) maka pengembangan ekonomi rendah (“X”)(-). Korelasi positif artinya jika variabel “X” baik/tinggi (+) maka korupsi pun akan bertambah banyak (+); misalnya, makin tinggi budaya maskulin (“X”) (+), makin tinggi pula tingkat korupsi (+)
            Kembali ke konsep Corruption Perceptions Index, dari 178 negara, CPI Indonesia masuk ke dalam jenjang ke 110, dengan skor 2,6. Negara-negara yang korupsinya terendah adalah Denmark, New Zealand, Sweden, Finland, dan Singapore – Skornya 9,3 dan 9,2. Negara-negara  yang korupsi tertinggi  Somalia, Burma, Afganistan, dan Iraq. Skornya 1.0 dan 1.3, 1,5. Jika skornya dibagi ke dalam 5 kategori,  ( SANGAT RENDAH, RENDAH, CUKUP, TINGGI, SANGAT TINGGI) maka Indonesia masuk ke dalam kategori negara yang tingkat korupsinya TINGGI. Maksudnya, korupsi di Indonesia, khususnya di sektor publik atau korupsi yang melibatkan pejabat publik, pegawai negeri atau politisi dan juga swasta masih banyak terjadi.

Pembangunan Manusia – HDI
     Pada akhirnya, sasaran pembangunan nasional di semua negara adalah pembangunan manusia. Pembangunan ekonomi, pembangunan infrastruktur, pembangunan pendidikan, pembangunan budaya dan pembangunan-pembangunan bidang lainnya, tidak lain sasaran akhirnya adalah “pembangunan manusia”. Manusia adalah sentral dari semua unsur pembangunan suatu bangsa. Pada akhirnya, suatu bangsa dikatakan bangsa yang maju, bangsa yang beradab ketika pembangunan manusia bangsa tersebut dinilai baik.
      HDI adalah singkatan dari Human Development Index yang disusun oleh satu organ Perserikatan Bangsa Bangsa yaitu UNDP (United Nations Development Program). Dalam pemahaman UNDP, Pembangunan Manusia tidak lain adalah penciptaan lingkungan yang memungkinkan manusia dapat mengembangkan sepenuhnya potensi yang dimilikinya sehingga bisa produktif, hidup kreatif sesuai dengan minat dan kebutuhannya. Pembangunan Manusia dengan demikian memperluas pilihan-pilihan ke arah kehidupan yang bernilai. Komposisi dari HDI adalah 1. Living a long and healthy life (diukur melalui tingkat harapan hidup), 2. Being educated (diukur melalui tingkat melek huruf dan penduduk yang bersekolah), dan 3. Having a decent standard of living (diukur melalui daya beli paritas, dan pendapatan per kapita).
     Di Indonesia HDI dikenal dengan dengan istilah IPM (Indeks Pembangunan Manusia). Berdasarkan HDI 2010, dari 172 negara, HDI Indonesia ada di jenjang ke 112 dengan skor  0.600. (peringkat tersebut turun dari jenjang 111 dan skor 0,734 pada tahun 2009). Negara-negara yang termasuk dalam kategori HDI sangat tinggi antara lain adalah Norwegia, Australia, New Zealand, Amerika Serikat. Skornya di atas 0.900. Negara-negara yang termasuk dalam kategori  HDI sangat rendah antara lain adalah Zimbabwe, Congo, dan Nigeria, dengan skor di bawah  0,28. Dengan skor 0,734 boleh dikatakan pembangunan manusia Indonesia sudah termasuk tinggi atau baik.
Hubungan CPI dengan HDI
                                      Corruption and Development, Selcuk Akcay, 2006
        Gambar di atas merupakan satu model yang ditulis oleh Selcuk Akcay, seorang Asistant Professor di bidang Ilmu Ekonomi di Afyon Kocatepe  University, Turkey pada tahun 2006 dalam Cato Jurnal Volume 26 No. 1. Di makalah yang berjudul “ Corruption and Development” Selcuk menganalisis data laporan HDI tahun 1998 dari 63 negara, termasuk di dalamnya Indonesia. HDI dijadikan sebagai variabel tergantung dan CPI sebagai variabel bebas. Dalam kesimpulan akhirnya dinyatakan bahwa “more corrupt countries tend to have lower levels of human development” – negara-negara yang banyak korupsinya cenderung pembangunan manusianya kurang baik.
         Untuk lebih meyakinkan, penulis melakukan perhitungan kekuatan korelasi berdasarkan data HDI dan CPI tahun 2010, hasilnya adalah seperti yang terpapar di tabel di bawah ini :
Correlations Between CPI and HDI



CPI
HDI
Spearman's rho
CPI
Correlation Coefficient
1.000
.832**
Sig. (2-tailed)
.
.000
N
111
111
HDI
Correlation Coefficient
.832**
1.000
Sig. (2-tailed)
.000
.
N
111
111
**. Correlation is significant at the 0.01 level (2-tailed).


Dari tabel di atas, sangat jelas bahwa hubungan positif dan signifikan terjadi di antara CPI dan HDI sebesar 0,832. Artinya ketika tingkat korupsinya baik (sedikit), maka pembangunan manusia di negara tersebut akan baik pula. Demikan pula sebaliknya, ketika makin buruk atau makin banyak korupsi terjadi di suatu negara maka makin buruk pula pembangunan manusia di negara tersebut.  
      Berdasarkan dua analisis tersebut di atas, seyogianya setiap bangsa - terlebih bangsa Indonesia - harus benar-benar mewaspadai dan memberikan penilaian yang sangat negatif terhadap gejala korupsi. Pada tahun 2009 – (berdasarkan data tahun 2007), HDI Indonesia berada pada peringkat 111 dan tahun 2010 turun menjadi peringkat 112. Penurunan ini bisa jadi (berdasarkan banyaknya pemberitaan di mass media) di tahun 2010 frekuensi dan jumlah kekayaan yang dikorupsi jauh lebih banyak. Jika hal ini dibiarkan di tahun tahun mendatang akan makin tertinggalah pembangunan manusia Indonesia.
       Oleh karena itu tepat kiranya kalau seminar ini menyatakan bahwa “korupsi adalah musuh utama bangsa Indonesia, musuh utama kita semua, musuh utama mahasiswa Unpar, mahasiswa FISIP UNPAR. Manusia Indonesia tidak akan pernah bertambah baik daya belinya, pendapatan perkapitanya, angka harapan hidupnya dan tingkat pendidikannya ketika korupsi masih tetap merajalela di negara kita. Pesan moralnya, jika setelah selesai kemudian para alumnus FISIP UNPAR bekerja dan lalu mereka korupsi, maka mereka akan membuat bangsa Indonesia makin menderita. Mungkin dirinya menjadi kaya, namun gara-gara dirinya kaya, membuat rakyat menderita. Unpar tidak hanya harus mendidik mahasiswanya berpengetahuan lebih baik, berketerampilan lebih baik, tetapi juga harus mendidik mahasiswanya bermoral lebih baik, berkarakter lebih baik.  Mahatma Gandhi menuliskan “Seven Deadly Sins” - “Tujuh Dosa Yang Mematikan”- Wealth without work, Pleasure without conscience, Science without humanity, Knowledge without character, Politics without principle, Commerce without morality, Worship without sacrifice. Seorang filsof yang bernama Immanuel Kant mengatakan: “Science is organized knowledge, wisdom is organized life”.  Koruptor pada umumnya bukan orang bodoh, namun jelas mereka bukan pribadi yang “wisdom”.

Pengembangan moral sebagai cara pencegahan korupsi
      Bicara tentang korupsi, senantiasa melibatkan moral pelakunya. Tidak sedikit orang memberikan label pada koruptor sebagai pribadi yang tidak bermoral. Moral tidak lain intinya adalah kemampuan untuk menentukan sesuatu itu baik dilakukan atau tidak baik dilakukan. Dengan demikian koruptor dipersepsi sebagai  pribadi yang tidak mengerti bahwa korupsi adalah perbuatan yang tidak baik.
       Sesungguhnya pendidikan yang baik (termasuk di dalamnya pendidikan tinggi) dirancang tidak hanya mengembangkan pengetahuan dan keterampilan, melainkan juga mengembangkan moralitas. Namun tampaknya hasilnya tidak senantiasa begitu. Boleh dikatakan koruptor-koruptor atau yang diduga koruptor kelas kakap di negara ini justru banyak yang berpendidikan formal tinggi semisal S1, S2, S3, bahkan ada yang mempunyai gelar “guru besar”.
        Ada seorang cendekiawan yang teorinya berkaitan dengan perkembangan moral, yaitu Kohlberg L. Terlepas dari kontroversi tentang kehidupannya, namun teorinya telah banyak membantu memahami perilaku-perilaku individu yang berkaitan dengan moral. Menurut dia ada tiga tahap perkembangan moral, di mana setiap tahap terdapat dua sub tahap. Pertama tahap Pra Konvensional. Tahap ini umumnya ada dalam diri anak-anak. Mereka melakukan sesuatu kalau hasilnya atau konsekuensinya baik buat dirinya, dan begitu pula sebaliknya. Sifatnya sangat egosentris.  Kedua, dinamakan tahap Konvensional. Tahap ini umumnya ada dalam diri manusia dewasa. Sesuatu hal baik atau tidak baik, bukan lagi berdasarkan pandangan atau keuntungan pribadinya, melainkan juga mempertimbangkan pandangan dan kepentingan orang lain, kelompok, masyarakat. Pribadi ini senantiasa berupaya mematuhi norma sosial, aturan, hukum yang berlaku di mana dia berada. Ketiga, dikenal dengan nama tahap Pasca Konvensional. Tahap ini dimiliki oleh orang yang punya prinsip kuat dan etika yang bersifat universal. Bagi mereka sesuatu hal baik atau buruk, ukurannya bukan kepentingan dirinya, bukan juga kepentingan kelompoknya, melainkan yang sesuai dengan prinsip yang dipegang teguh dan yang dinilainya etis atau tidak etis.
       Ketika seseorang tidak korupsi karena dia takut akan dihukum mati, atau korupsi agar dirinya menjadi cepat kaya maka tahap perkembangan moralnya ada di tahap pra konvensional. Ketika seseorang tidak korupsi karena alasan tidak mau melanggar hukum atau merugikan orang lain, atau dia korupsi karena tidak aturan yang melarangnya maka tahap perkembangan moralnya ada di tahap konvensional. Tahap pasca konvensional ada dalam pribadi yang berprinsip. Dia tetap tidak akan korupsi kalau dia menilai korupsi itu bukan perbuatan baik walau tidak ada larangan untuk korupsi atau tidak ada sanksi yang yang korupsi.
      Mahasiswa jelas diharapkan sudah sebagai makhluk yang dewasa secara biologis maupun psikologis. Seyogianya tahap perkembangan moralnya tidak lagi ada di tahap pertama. Mahasiswa tidak boleh lagi bersifat egois – “yang penting gua enak, masa bodo orang lain… emang gua pikirin…”. Paling sedikit pertimbangan moral mahasiswa sudah di tingkat konvensional. Mengikuti aturan yang ada, memperhatikan kepentingan orang lain dan lingkungannya. Sangat diharapkan ketika mahasiswa sudah menjadi alumnus, tahap perkembangan moralnya sudah meningkat ke tahap pasca konvesional Dia sudah punya prinsip universal, tindakannya tidak hanya didasarkan oleh ada tidaknya aturan atau norma hukum, namun juga dilandasi oleh hati nuraninya, “wisdom”nya. Korupsi tetap tidak akan dilakukannya karena hakikatnya korupsi adalah tindakan yang tidak bermoral, bukan hanya sekedar melanggar hokum.  

Sumber Bacaan
Daniel W. Munzert, Corruption and Education: An Interdisciplinary Approach, University University of Agder, Kristiansand Master of Science in Business Administration, International Management, 2010
Hasan Mustafa, Paradigma Pembangunan Manusia Indonesia, Makalah Seminar STIA Bandung.  2009
Selcuk Akcay, Corruption and Human Development, Cato Journal, Vol 26 No. 1, 2006
id.wikipedia.org/wiki/Tahap_perkembangan_moral_Kohlberg
petapolitik.com/news/daftar-45-pelarian-indonesia-ke-luar-negeri
en.wikipedia.org/wiki/List_of_countries_by_Human_Development_Index

Simak
Baca secara fonetik