Hasan Mustafa
Ketika penulis bertanya kepada hampir 30 peserta pelatihan tentang komunikasi asertif, tidak seorang pun yang bisa menjelaskan maknanya. Bisa jadi ketidaktahuan tersebut karena kata “asertif” merupakan kata yang diambil langsung dari kata bahasa Inggris “assertive”, bukan terjemahannya. Terjemahan kata “assertive” adalah “tegas” . Jadi komunikasi asertif adalah cara menyampaikan pesan kepada pihak lain dengan penuh ketegasan. Seringkali memang, penyedia (provider) jasa pelatihan tidak mau menterjemahkan kata “assertiveness” dengan ke dalam bahasa Indonesia, dengan tujuan agar jasanya lebih bisa dijual. “Assertiveness Training” merupakan judul pelatihan yang dianggap lebih menarik ketimbang “Pelatihan Ketegasan”.
Dalam berkomunikasi dengan pihak lain, seseorang bisa bergaya pasif, agresif, dan asertif. Berkomunikasi dengan gaya pasif ditandai dengan perilaku-perilaku yang cenderung seolah-olah menurut atau setuju pada kehendak/pendapat orang lain, padahal sesungguhnya tidak. Kata-kata “ya”, “saya setuju”, “saya ikut saja”, “okay” , maaf, dan kata-kata lain dan bahasa tubuh yang mengandung unsur keterpaksaan, mengindikasikan adanya kompleks rendah diri seseorang di hadapan orang lain ketika berkomunikasi . Tidak jarang kita mendengar bagaimana gaya komunikasi bawahan ketika berkomunikasi dengan atasannya. “Siap pak, baik pak, ya pak, bagaimana bapak saja, setuju pak”….. dan lain sebagainya, sambil membungkuk dan mengangguk-anggukkan kepala. Esensi gaya pasif adalah mengalah dengan terpaksa.
Gaya agresif kebalikannya dengan gaya pasif. Rasa superior ketika berkomunikasi dengan pihak lain diungkapkan dengan kata-kata dan juga bahasa tubuh. Intensi atau maksud bergaya agresif untuk menunjukan bahwa dirinya lebih kuat, lebih berkuasa daripada pihak lain yang sedang berkomunikasi dengannya ditampilkan secara kentara. Misalnya, “kerjakan segera, ambil itu, letakkan di sana, bawa ke sini, jangan begitu, awas ya, kamu harus lakukan, “ merupakan kata-kata yang seringkali diucapkan bersamaan dengan bahasa tubuh dan ekspresi wajah tertentu. Esensi gaya agresif adalah saya menang, kamu kalah. Kamu harus mengikuti apa yang saya katakan.l
Gaya asertif merupakan gaya komunikasi yang sewajarnya, dalam artian tidak menyembunyikan atau menekan perasaannya sendiri dan sekaligus menghargai serta memberikan tempat bagi perasaan pihak lain yang sedang berkomunikasi denganya. Dia akan mengatakan “tidak” ketika dia merasa atau berpikir “tidak”, namun dengan bahasa, nada suara dan bahasa tubuh yang tidak membuat pihak lain tersinggung. Dia juga akan mengatakan “ya” ketika hati kecilnya memang berkata seperti itu, namun dengan nada dan bahasa tubuh yang tidak merendahkan dirinya di hadapan orang lain yang sedang berkomunikasi dengannya. Tidak ada kepura-puraan, atau keraguan dalam mengungkapkan pikiran dan perasaannya kepada orang lain. Jelas, tegas, apa yang dipikirkannya , dirasanya, diucapkannya juga dengan cara dan bahasa yang menilai orang lain setara dengan dirinya, tidak lebih atas atau lebih bawah. Tidak ada kompleks rendah diri atau tinggi hati.
Gaya mana yang lebih baik?
Secara umum, dalam berkomunikasi upayakan selalu menggunakan gaya asertif, karena sejatinya gaya inilah yang natural, tidak dibuat-buat. Namun, kadangkala dalam situasi tertentu justru gaya pasif atau agresif yang “terpaksa” harus kita tampilkan. Mengapa? Karena dalam situasi tersebut memang gaya tersebutlah yang paling efektif. Misalnya ketika kita berhadapan dengan situasi di mana kalau kita bergaya asertif justru berakibat tidak baik buat diri kita, tidak ada salahnya kita bergaya pasif. Atau bahkan mau tidak mau kita harus bergaya agresif ketika bergaya asertif ternyata sulit diterima pihak lain.
Gaya pasif bisa saja kita aplikasikan dalam situasi : (1) masalah atau pesan yang sedang dikomunikasikan sifatnya sepele, (2) kalau bergaya tegas akan mengakibatkan konflik yang tidak perlu, (3) ketika emosi makin meningkat, dan kita ingin menenangkan pikiran pihak lain, (4) status kita memang sangat lemah. Sedangkan gaya agresif akan efektif kita gunakan ketika (1) keputusan harus diambil secara cepat, (2) hal yang ingin kita sampaikan benar-benar sesuatu yang baik dan harus diterima oleh pihak lain, (3) kondisinya darurat/mendesak.
Gaya pasif dan agresif yang sesekali digunakan bukanlah sesuatu yang negatif. Seharusnya kedua gaya tersebut jangan dijadikan kebiasaan dalam berkomunikasi dengan pihak lain. Kebiasaan atau “habit” yang harus dikembangkan adalah gaya berkomunikasi asertif. Be Assertive!!
Bandung, November 2009