SIMPTOM DAN MASALAH PENELITIAN
Hasan Mustafa
Sebelum kita menentukan masalah penelitian, terlebih dahulu kita harus bisa membedakannya dengan simptom. Untuk memudahkannya, kita ambil contoh bagaimana proses seorang dokter menemukan masalah yang diderita oleh pasiennya. Ketika seseorang datang ke dokter, pasti dokter bertanya tentang gejala-gejala yang dirasakan kurang enak oleh pasiennya. Misalnya, apakah dia susah bernafas, apakah suka batuk-batuk, apakah selera makannya menurun, apakah tidurnya nyenyak, dan lain sebagainya.
Intinya, dokter ingin mengetahui gejala-gejala negatif yang dialami atau dirasakan oleh pasiennya. Semua yang dialami, dirasakan oleh pasien dinamakan simptom.
Lalu sebagai langkah awal, dokter melakukan pemeriksaan kecil untuk mengetahui penyebab terjadinya simptom tersebut. Dia akan minta pasiennya berbaring, diperiksa denyut jantungnya, diperiksa lidah dan tenggorokannya, diperiksa matanya, diukur suhu tubuhnya, dan lain sebagainya. Di langkah tersebut dokter telah melakukan penelitian guna menemukan masalah yang ada dalam diri pasiennya. Informasi (dalam penelitian sering dikenal dengan nama “data”) yang diperoleh dokter dari hasil wawancara dan pemeriksaan singkat tersebut lebih diarahkan untuk menemukan sesuatu yang menyebabkan pasiennya sakit. Begitu sudah diketahui masalahnya (sesuatu tadi) – penyakit yang diderita pasien-, maka mudah bagi dokter untuk untuk menetapkan obatnya (solusinya).
Ketika dokter belum yakin penyakit (masalah) apa yang diderita oleh pasiennya, dia melanjutkan penelitiannya dengan bantuan orang lain. Umumnya dokter meminta agar pasiennya melakukan pemeriksaan lainnya, misalnya pemeriksaan darah, radiologi, atau aspek lainnya melalui berbagai alat, mis CT Scan, MRI, dan lain sebagainya. Proses terakhir ini juga merupakan satu tahap penelitian yang disebut sebagai proses pencarian data. Setelah data berhasil diperoleh, lalu dokter menganalisisnya guna menemukan masalah (penyakit) yang sesungguhnya.. Ketika masalah (penyakit) ditemukan maka solusinya bisa dilakukan, walau dalam kenyataannya tidak selalu demikian.
Dari uraian siungkat tadi, secara ringkas bisa dimaknakan bahwa simptom adalah gejala-gejala negatif yang terjadi dalam diri seseorang, kelompok, organisasi, atau entitas-entitas lainnya yang memerlukan solusi, sedangkan masalah adalah penyebab terjadinya simptom. Produktivitas menurun, tingkat absensi bertambah, volume penjualan menurun, pengangguran bertambah, semua contoh tersebut adalah simptom, bukan masalah. Umumnya masalah tidak tampak dipermukaan, oleh karena itu perlu dilakukan penelitian yang seksama.
Dengan demikian proses penentuan masalah penelitian bukanlah hal yang mudah. Misalnya, seorang manajer telah berupaya meningkatkan produktivitas dengan cara memperbesar upah perpotong produk yang dihasilkan, namun upaya tersebut kurang berhasil. Apa yang terjadi tersebut walau sudah menunjukan adanya masalah, namun bukan merupakan masalah yang sesungguhnya, melainkan baru merupakan “symptom” (tanda-tanda sesuatu sedang dalam kondisi buruk). Tugas manajer selanjutnya adalah menemukan masalah yaitu faktor-faktor yang diperhitungkan sebagai penyebab munculnya simptom tadi. Caranya adalah dengan mengumpulkan berbagai macam informasi atau data yang berkaitan langsung dengan simptom. Setelah data terkumpul maka tugas manajer berikutnya adalah menganalisis data. Dari hasil analisis tersebut, manajer dapat mengetahui penyebab terjadinya simptom, atau dengan kata lain, manajer telah menemukan masalah. Ketika masalahnya telah ditemukan maka akan lebih mudah manajer tadi mengurangi atau melenyapkan simptom yang dihadapi organisasinya.
Apa yang seharusnya diteliti?
Contoh ini diambil dari buku Uma Sekaran 2003. Simptom: Walaupun telah terjadi perubahan yang dramatis dalam hal jumlah manajer wanita dalam dekade sekarang, namun jumlah wanita yang menduduki jabatan manajerial puncak ternyata sangat sedikit. Penelitian ini merupakan upaya untuk mengidentifikasi faktor-faktor organisasional yang merintangi wanita menduduki jabatan manajerial puncak.
Untuk menemukan masalah penelitiannya, peneliti melakukan satu upaya yaitu studi literatur. Hasilnya sebagai berikut : Seringkali yang dijadikan alasan mengapa wanita tidak atau sangat sedikit menduduki jabatan puncak, adalah karena baru sekarang mereka masuk ke jenjang manajerial. Artinya belum waktunya wanita sampai di puncak karier. Namun banyak wanita yang sekarang menduduki tingkat manajerial menengah merasa bahwa paling tidak ada dua unsur penghambat kemajuan karier wanita, yaitu : stereotype peran jender dan kekurangan akses informasi penting yang dimiliki wanita. (Crosby, 1985; Welch, 1980)
Stereotype peran jender, atau stereotype peran berdasarkan jenis kelamin adalah keyakinan masyarakat bahwa laki-laki lebih cocok menduduki posisi pemimpin yang harus memiliki kekuasaan dan wewenang, sedangkan wanita lebih cocok menjadi pengasuh dan mempunyai peran membantu orang lain. Hal ini cocok dengan pandangan “a glass ceiling effect” (Morrison, White, VanVelsor, 1987) – satu hambatan yang tidak kentara, yang mencegah wanita untuk maju menduduki tingkat manajerial puncak.. (Eagly, 1989; Kahn & Crosby, 1985). Kepercayaan atau keyakinan ini mempengaruhi posisi yang akan diberikan kepada setiap anggota organisasi. Laki-laki yang cakap diberi posisi lini dan dikembangkan untuk mengambil tanggungjawab posisi eksekutif, dan wanita yang cakap diberikan posisi staf dan “dead-end-jobs”.
Wanita juga seringkali dijauhkan dari jaringan kerja para “old-boys”, karena alasan jenis kelaminnya. Pertukaran informasi, strategi pengembangan karier, akses pada sumber-sumber daya penting, dan beberapa informasi penting untuk mobilitas ke atas, tidak diperoleh para pekerja wanita.
Berdasarkan studi literatur, peneliti telah berhasil menemukan penyebab terjadinya simptom, yaitu stereo peran jender dan akses informasi penting. Tugas peneliti bukannya fokus hanya mencari data tentang simptom melainkan yang lebih utama dan terpenting adalah mencari data tentang stereo peran jender dan akses informasi penting yang dimiliki pegawai perempuan. Tugas peneliti adalah menemukan dan membahas masalah, bukan menemukan simptom.
Sumber informasi masalah
Kadang kita bertanya pada diri kita sendiri :”Di mana saya bisa menemukan masalah dari fenomena yang akan saya teliti?” Ada beberapa tempat yang dapat dijadikan sebagai sumber masalah. Pertama adalah dari teori. Seperti yang dikemukakan oleh Kerlinger (1973) : “Teori adalah seperangkat konstruk atau konsep, definisi, dan proposisi yang saling berkaitan satu sama lain, yang mampu mewakili pandangan yang sistematik tentang suatu gejala (phenomena) dengan cara menspesifikasikan hubungan antar variabel, dengan maksud menjelaskan dan memprediksi gejala tersebut”. Misalnya, bagi yang mempelajari teori tentang kinerja (performance) dengan baik, pastilah dia mengetahui variabel-variabel apa saja yang terlibat dalam pembentukan kinerja. Kemampuan, motivasi, dan kesempatan, hal-hal tersebutlah yang seringkali disebutkan. Artinya ketika terdapat kinerja yang kurang baik dari seorang atau sekelompok pegawai, maka ada tiga variabel yang perlu diteliti.
Sumber masalah kedua adalah survai literatur (literature survey) atau bahan-bahan bacaan ilmiah atau pun populer. Jurnal-jurnal, majalah, koran, atau bahkan laporan-laporan penelitian. Melalui informasi-informasi yang ditulis di media-media tersebut, peneliti bisa menemukan masalah atas fenomena negatif yang menarik untuk diteliti. Karena pentingnya upaya penemuan masalah, beberapa pembimbing mewajibkan mahasiswa yang dibimbingnya membaca paling sedikit 25 artikel yang berkaitan dengan fenomena yang akan ditelitinya. Ada juga yang menuntut membaca paling sedikit 5 jurnal penelitian yang relevan.
Sumber lainnya adalah pengalaman praktis yang dimiliki oleh pihak-pihak yang kesehariannya berada dalam lingkungan yang sering menghadapi fenomena seperti yang ingin dipelajari oleh peneliti. Seorang sales manager yang berpengalaman seringkali memahami mengapa seorang salesman gagal mencapai target penjualan. Seorang montir yang berpengalaman seringkali mengetahui mengapa mobil sering mogok.. Demikian pula seorang dokter yang berpengalaman, berdasarkan simptom yang diutarakan oleh pasiennya, dia segera tahu apa penyakit pasiennya.