Minggu, 15 November 2009

BE ASSERTIVE !

KOMUNIKASI ARSETIF


Hasan Mustafa

Ketika penulis bertanya kepada hampir 30 peserta pelatihan tentang komunikasi asertif, tidak seorang pun yang bisa menjelaskan maknanya. Bisa jadi ketidaktahuan tersebut karena kata “asertif” merupakan kata yang diambil langsung dari kata bahasa Inggris “assertive”, bukan terjemahannya. Terjemahan kata “assertive” adalah “tegas” . Jadi komunikasi asertif adalah cara menyampaikan pesan kepada pihak lain dengan penuh ketegasan. Seringkali memang, penyedia (provider) jasa pelatihan tidak mau menterjemahkan kata “assertiveness” dengan ke dalam bahasa Indonesia, dengan tujuan agar jasanya lebih bisa dijual. “Assertiveness Training” merupakan judul pelatihan yang dianggap lebih menarik ketimbang “Pelatihan Ketegasan”.

Dalam berkomunikasi dengan pihak lain, seseorang bisa bergaya pasif, agresif, dan asertif. Berkomunikasi dengan gaya pasif ditandai dengan perilaku-perilaku yang cenderung seolah-olah menurut atau setuju pada kehendak/pendapat orang lain, padahal sesungguhnya tidak. Kata-kata “ya”, “saya setuju”, “saya ikut saja”, “okay” , maaf, dan kata-kata lain dan bahasa tubuh yang mengandung unsur keterpaksaan, mengindikasikan adanya kompleks rendah diri seseorang di hadapan orang lain ketika berkomunikasi . Tidak jarang kita mendengar bagaimana gaya komunikasi bawahan ketika berkomunikasi dengan atasannya. “Siap pak, baik pak, ya pak, bagaimana bapak saja, setuju pak”….. dan lain sebagainya, sambil membungkuk dan mengangguk-anggukkan kepala. Esensi gaya pasif adalah mengalah dengan terpaksa.

Gaya agresif kebalikannya dengan gaya pasif. Rasa superior ketika berkomunikasi dengan pihak lain diungkapkan dengan kata-kata dan juga bahasa tubuh. Intensi atau maksud bergaya agresif untuk menunjukan bahwa dirinya lebih kuat, lebih berkuasa daripada pihak lain yang sedang berkomunikasi dengannya ditampilkan secara kentara. Misalnya, “kerjakan segera, ambil itu, letakkan di sana, bawa ke sini, jangan begitu, awas ya, kamu harus lakukan, “ merupakan kata-kata yang seringkali diucapkan bersamaan dengan bahasa tubuh dan ekspresi wajah tertentu. Esensi gaya agresif adalah saya menang, kamu kalah. Kamu harus mengikuti apa yang saya katakan.l

Gaya asertif merupakan gaya komunikasi yang sewajarnya, dalam artian tidak menyembunyikan atau menekan perasaannya sendiri dan sekaligus menghargai serta memberikan tempat bagi perasaan pihak lain yang sedang berkomunikasi denganya. Dia akan mengatakan “tidak” ketika dia merasa atau berpikir “tidak”, namun dengan bahasa, nada suara dan bahasa tubuh yang tidak membuat pihak lain tersinggung. Dia juga akan mengatakan “ya” ketika hati kecilnya memang berkata seperti itu, namun dengan nada dan bahasa tubuh yang tidak merendahkan dirinya di hadapan orang lain yang sedang berkomunikasi dengannya. Tidak ada kepura-puraan, atau keraguan dalam mengungkapkan pikiran dan perasaannya kepada orang lain. Jelas, tegas, apa yang dipikirkannya , dirasanya, diucapkannya juga dengan cara dan bahasa yang menilai orang lain setara dengan dirinya, tidak lebih atas atau lebih bawah. Tidak ada kompleks rendah diri atau tinggi hati.

Gaya mana yang lebih baik?

Secara umum, dalam berkomunikasi upayakan selalu menggunakan gaya asertif, karena sejatinya gaya inilah yang natural, tidak dibuat-buat. Namun, kadangkala dalam situasi tertentu justru gaya pasif atau agresif yang “terpaksa” harus kita tampilkan. Mengapa? Karena dalam situasi tersebut memang gaya tersebutlah yang paling efektif. Misalnya ketika kita berhadapan dengan situasi di mana kalau kita bergaya asertif justru berakibat tidak baik buat diri kita, tidak ada salahnya kita bergaya pasif. Atau bahkan mau tidak mau kita harus bergaya agresif ketika bergaya asertif ternyata sulit diterima pihak lain.

Gaya pasif bisa saja kita aplikasikan dalam situasi : (1) masalah atau pesan yang sedang dikomunikasikan sifatnya sepele, (2) kalau bergaya tegas akan mengakibatkan konflik yang tidak perlu, (3) ketika emosi makin meningkat, dan kita ingin menenangkan pikiran pihak lain, (4) status kita memang sangat lemah. Sedangkan gaya agresif akan efektif kita gunakan ketika (1) keputusan harus diambil secara cepat, (2) hal yang ingin kita sampaikan benar-benar sesuatu yang baik dan harus diterima oleh pihak lain, (3) kondisinya darurat/mendesak.

Gaya pasif dan agresif yang sesekali digunakan bukanlah sesuatu yang negatif. Seharusnya kedua gaya tersebut jangan dijadikan kebiasaan dalam berkomunikasi dengan pihak lain. Kebiasaan atau “habit” yang harus dikembangkan adalah gaya berkomunikasi asertif. Be Assertive!!

Bandung, November 2009

Sabtu, 14 November 2009

MATRIX MANAJEMEN WAKTU

Sempatkan waktu kita untuk selalu mengerjakan tugas-tugas penting,
melalui Matrix Manajemen Waktu


Hasan Mustafa

       Apakah Anda pernah merasa banyak sekali pekerjaan yang harus Anda selesaikan, padahal waktu yang Anda miliki terbatas?. Jika hal itu sering terjadi, sudah tiba saatnya Anda mempelajari matrix pengelolaan waktu di bawah ini. Matrix Manajemen Waktu terdiri dari empat Quadran. Quadran I berisikan tugas-tugas Penting dan Mendesak, Quadran II tugas-tugas yang Penting tapi Tidak Mendesak, Quadran III kegiatan yang Mendesak tapi Tidak Penting, dan Quadran IV adalah kegiatan yang Tidak Penting dan juga Tidak Mendesak.

.... Besok Anda harus mempresentasikan laporan di depan atasan dan klien Anda, hari ini Anda masih belum juga menyusunnya…. Oh, rasanya … tertekan, jantung berdebar, adrenalin naik. Anda mulai stres. Lalu Anda berpikir: “Andai saja saya tugas tersebut tidak saya tunda mengerjakannya….” Banyak di antara kita yang pernah mempunyai pengalaman seperti itu di tempat kerja dan di tempat kehidupan lainnya. Apa pun yang kita lakukan, rasanya tidak pernah ada waktu yang cukup . Matriks manajemen waktu bisa membantu kita untuk mengendalikan kegiatan-kegiatan Anda, sehingga waktu yang ada mencukupinya. Dan yang lebih utama: STRES ANDA MASIH DI AMBANG NORMAL. Matrix manajemen waktu di mulai dengan penetapan tugas-tugas atau pekerjaan apa yang Anda nilai “penting/tidak penting” dan “mendesak/tidak mendesak” dalam kehidupan Anda.
      Ketika pertama kalinya saya menggunakan matrix manajemen waktu, rasanya apa-apa yang saya lakukan ada di Quadran I, yaitu : “Penting dan Medesak”, dan saya merasa tertekan atau stress. Lalu saya berpikir. “Benar juga, ketika kita harus mengerjakan suatu tugas yang penting dalam waktu yang terbatas dan segera harus selesai, pasti kita akan merasa stres”. Oleh karena itu, strateginya harus diubah, kita harus pindah dari Quadran I ke Quadran II. Yaitu mengerjakan sesuatu yang penting namun tidak mendesak. Ketika kita berada di Quadran II, kita akan bisa mengerjakan tugas-tugas yang penting dengan cara tenang, tidak tergesa-gesa, sehingga tidak merasa tertekan.

Pertanyaannya:
     Bagaimana caranya agar kita bisa pindah dari Quadran I ke Quadran II? Baiklah. Jawablah pertanyaan-pertanyaan di bawah ini.

Tugas tersebut penting atau tidak penting?
      Suatu tugas dinilai penting ketika tugas tersebut berkaitan langsung dengan TUJUAN yang ingin kita capai dalam kehidupan personal dan profesional. Punya waktu cukup bersama keluarga yang kita cintai, pengembangan di bidang pekerjaan dan karier, senantiasa aktif dalam kondisi sehat, bisa jadi merupakan tujuan professional dan personal bagi diri kita. Itulah mimpi atau visi hidup kita. Kegiatan-kegiatan yang berkontribusi pada visi kita ada di Quadran I dan II – kegiatan yang penting, tidak boleh diabaikan!
      Sebaliknya, menghabiskan waktu untuk mengirim e-mail berkepanjangan, sms-antanpa makna, menonton acara gossip di TV , bertelepon ria, menghadiri pertemuan yang tidak ada kaitan dengan tujuan utama hidup kita, adalah kegiatan-kegiatan yang tidak terlampau penting. Kegiatan-kegiatan tersebut ada di Quadran III dan IV. Namun jika memang aktivitas tadi tidak berkaitan dengan pengembangan profesi atau pribadi kita – misalnya ketika kita adalah seorang kritikus acara TV, maka nonton TV seharian adalah kegiatan penting, jadi ada Quadran I atau II.

Apakah tugas-tugas tersebut mendesak?
      Apakah kita cenderung bereaksi (reaktif) terhadap lingkungan di sekeliling kita, atau kita cenderung pro-aktif? Makin reaktif, makin banyak tugas yang sifatnya mendesak. Tugas-tugas yang mendesak adalah tugas yang tidak bisa ditunda sama sekali. Segera harus dilakukan. Telepon yang berdering, bos yang tiba-tiba memanggil Anda untuk rapat, atau mengantarkan seseorang pergi berobat ke dokter, atau hal-hal lain yang membuat kita harus mengerjakannya segera.
       Tugas-tugas yang tidak mendesak adalah tugas yang tidak menuntut untuk segera dilakukan. Nonton TV, baca koran, baca novel, berkunjung ke tetangga, rekan, ngobrol santai, dan lain sebagainya. Artinya, kalaupun tidak dilakukan pada saat itu, masih bisa dilakukan di lain waktu.

Quadran II
       Dari sudut pandang manajemen waktu, kita harus lebih banyak berada di Quadran II, bersifat proaktif, senantiasa melakukan pekerjaan yang penting bagi kehidupan kita, tanpa tergesa-gesa, dikejar-kejar waktu. Kegiatan-kegiatan di Quadran II umumnya merupakan kegian-kegiatan preventif atau pencegahan. Misalnya memeriksa kondisi alat alat kerja (komputer), membangun hubungan antar pribadi, merencanakan kegiatan, ikut program pelatihan, cuti, berlibur. berolah raga, membaca buku bermutu, beres-beres rumah, kerja rutin sehari-hari. Misalnya, kita harus mempresentasikan sesuatu hal yang penting minggu depan. Hari ini pekerjaan tersebut telah kita mulai sedikit demi sedikit, hati-hati dan hasilnya bisa lebih berkualitas.

Pindah dari Quadran II ke Quadran I akan meningkatkan stress.
       Ketika kita berada di Quadran I, sebagian besar dari kegiatan kita, kita lakukan dengan tergesa-gesa, dan harus segera. Intinya pekerjaan yang harus dilakukan dengan segera. Pastinya hal tersebut bisa memuat kita stress dan hasilnya pun seringkali kurang memuaskan berbagai pihak.
      Di bawah ini ada hal-hal penting yang harus dikerjakan dengan cara proaktif (Quadran II) Namun ketika kita tidak lakukan, maka kegiatan tersebut akan pindah ke Quadran I, sehingga membuat kita merasa tertekan.
• Membangun hubungan baik dengan keluarga dan teman-teman
• Bagi manajer, mengembangkan kemampuan professional para pegawainaya. Bagi kita mengembangkan     pengetahuan dan keterampilan kita secara rutin
• Berlatih/olahraga dan makan makanan yang sehat.
• Secara rutin menjaga peralatan kerja kita – komputer, kendaraan, dlsb.
• Menyisihkan waktu khusus untuk santai, rekreasi, istirahat
       Semua contoh kegiatan di Quadran II tadi, mempunyai tujuan preventif atau pencegahan. Jika hal tersebut tidak dilakukan, maka kegiatan tersebut berpindah ke Quadran I, dan membuat kita tidak nyaman.

Quadran III
       Di Quadran ini, tugas kita mendesak namun tidak penting. Ketika kita sedang mengerjakan sesuatu hal yang penting secara seksama (kita ada di Quadran II) , tiba-tiba ada rekan kita mengajak ke luar kantor untuk berbelanja sejenak ke toko di sebelah kantor. Atau menjawab telepon iseng yang berdering di HP atau telepon di meja kita, Segera mengikuti rapat kantor yang tidak punya kaitan langsung dengan pekerjaan kita. Kalau hal tersebut kita lakukan maka kita bisa masuk ke Quadran I
      Berani menolak ajakan teman, berani untuk tidak ikut bergabung dalam kegiatan lain ketika kita sedang berkonsentrasi pada satu kegiatan, membiasakan diri tidak “multitasking”, dapat mencegah kita masuk ke dalam Quadran III, dan tetap berada di Quadran II

Quadran IV
     Bentuk kegiatan di Quadran ini adalah kegiatan yang tidak penting dan tidak mendesak bagi tujuan hidup personal maupun professional. Sesekali sebagai bentuk “intermezzo” tidak ada salahnya, namun jangan dijadikan kebiasaan. Menggosip, saling curhat, nonton sinetron, menonton film, arisan, bersosialisasi, merupakan kegiatan yang dapat dikategorikan jatuh ke dalam Quadran IV.

Gunakan matrix manajemen waktu, dan senantiasa berada di Quadran II.
     Mulai saat ini kita harus mempunyai pikiran yang jernih, bahwa Quadran II adalah daerah di mana kita akan melakukan kegiatan paling efektif dalam upaya mengapai tujuan hidup personal atau pun profesional. Jadi apa yang harus kita lakukan agar tetap berada di Quadran II sebanyak mungkin?
1. Dari daftar kegiatan kita, coba hilangkan atau kurangi kegiatan yang tidak pernting bagi kehidupan kita.
2. Bangun, bentuk visi dan nilai hidup kita. Kehidupan yang bagaimana yang kita impikan. Visi tersebut akan memberikan arahan untuk memrioritaskan kegiatan kegiatan dan waktu kita.
3. Coba susun jadwal kegiatan mingguan dan harian yang relevan dengan visi atau mimpi kita.
4. Jangan menunda pekerjaan, jangan mencari kesempurnaan, jangan enggan mengatakan “TIDAK”. Hindari “time waster”, buang-buang waktu.

Ingat: Esensi Manajemen Waktu bukan mengelola waktu karena waktu tak mungkin dikelola. Satu hari adalah 24 jam, tidak bisa ditambah atau dikurangi. Yang bisa dilalukan oleh kita adalah mengelola kegiatan kita sendiri, dicocokan dengan waktu yang telah tersedia. MENGELOLA DIRI SENDIRI atau SELF-MANAGEMENT, itulah sejatinya manajemen waktu.


Bandung, November 2009

Jumat, 13 November 2009

HUBUNGAN SIKAP DENGAN MOTIVASI

SIKAP DAN MOTIVASI


Hasan Mustafa

Sikap dan motivasi merupakan dua konsep yang berbeda namun memiliki kaitan yang sangat erat. Dalam berbagai buku dan artikel yang membahas tentang sikap, sebagian besar akan memberikan pengertian sebagai perasaan suka, tidak suka, atau juga tidak memihak terhadap obyek atau subyek tertentu. Predisposition or a tendency to respond positively or negatively towards a certain idea, object, person, or situation. Attitude influences an individual's choice of action, ( http://www.businessdictionary. com/definition/attitude.html) , An attitude is a hypothetical construct that represents an individual's degree of like or dislike for an item. Attitudes are generally positive or negative views of a person, place, thing, or event-- this is often referred to as the attitude object. http://en.wikipedia.org /wiki/ Attitude _(psychology). Oleh karena itu kita sering mendengar sikap yang negatif, sikap positif atau juga sikap yang netral . Walau pun secara teoritis komponen sikap adalah kognisi, afeksi, dan konasi - (1) Affective: emotions or feelings. (2) Cognitive: belief or opinions held consciously. (3) Conative: inclination for action.- namun pada akhirnya afeksi atau perasaan lah yang yang paling menonjol.

Banyak hasil penelitian yang kemudian ditulis ulang dalam bentuk teori yang menyatakan bahwa sikap adalah predisposisi perilaku- seperti yang diutarakan sebelumnya. Artinya melalui sikap kita bisa memprediksi perilaku. Seseorang yang bersikap negatif terhadap suatu tugas tertentu mempunyai kecenderungan untuk tidak mau mengerjakan tugas tersebut. Demikian pula sebaliknya ketika seseorang mempunyai sikap positif.

Motivasi banyak diartikan sebagai dorongan atau gerakan yang ada dalam diri seseorang untuk melakukan sesuatu hal. Motivation is the internal condition that activates behavior and gives it direction; and energizes and directs goal-oriented behavior.en.wikipedia.org/wiki/Motivation Jika dorongannya kuat, kita artikan bahwa seseorang tadi mempunyai motivasi yang tinggi, kuat, besar. Namun ketika dorongannya lemah maka kita bisa mengatakan motivasi seseorang tadi untuk melakukan sesuatu rendah. Dalam banyak hal, tidak jarang motivasi diterjemahkan dengan kata “kemauan“ . Willingness of action esp. in behavior; Kinerja seseorang akan baik jika kemampuan (ability) dan kemauan (motivation) orang tersebut memadai.

Hubungan sikap dengan motivasi
Ketika kita memaknai sikap sebagai kecenderungan berperilaku dan motivasi adalah dorongan (kemauan – willingness) untuk berperilaku, tampak jelas bahwa kedua konsep tersebut berhubungan sangat erat dengan perilaku (behavior). Seorang laki-laki yang mempunyai sikap negatif terhadap seorang perempuan tertentu cenderung tidak mempunyai kemauan (motivasi) untuk dekat apalagi mencintai perempuan tersebut. Jadi sikap seseorang yang negatif atau positif terhadap sesuatu (obyek/subyek) dapat diinterpretasikan secara kuat bahwa seseorang tersebut mau (termotivasi) atau tidak mau (tidak termotivasi) melakukan sesuatu terhadap obyek atau subyek tertentu tadi.

Kepuasan kerja dan motivasi kerja.
Sikap dan motivasi merupakan konsep yang sangat luas, bisa diaplikasikan di sembarang tempat, dengan istilah yang berbeda-beda. Satu tempat yang umum yang banyak membicarakan motivasi adalah di tempat kerja. Di tempat kerja, motivasi kerja merupakan sesuatu yang berperan penting dalam keberhasilan organisasi kerja. Dalam berbagai macam tulisan atau artikel dikemukakan bahwa hal-hal umum yang mampu memunculkan motivasi kerja adalah, pekerjaan atau tugas-tugas itu sendiri, gaji/upah/insentif, atasan, rekan kerja, kondisi kerja, system promosi - Salary, benefits, working conditions, supervision, policy, safety, security, affiliation, and relationships are all externally motivated needs. (Wendy Pan, 2009) .

Mengapa hal-hal terebut merupakan sesuatu yang bisa membuat pegawai termotivasi untuk bekerja, jawabnya sederhana, karena hal-hal tersebut lah yang memang sejatinya dibutuhkan (needs) oleh pegawai. Konsep ”needs” merupakan salah satu cara yang banyak dipelajari guna memahami motivasi. (Wexley, 1977) Pegawai yang gaji atau upahnya bisa memenuhi kebutuhannya, cenderung mempunyai motivasi kerja lebih tinggi dibanding yang tidak atau kurang terpenuhi. Begitu pula dengan pegawai yang ditempatkan pada pekerjaan yang bisa memenuhi kebutuhannya.

Wendy Pan, dalam tulisannya tentang motivasi kerja menjelaskan bahwa :” An employer or leader that meets the need on the Howletts Hierarchy” will see motivated employees and see productivity increase” Yang dimaksud dengan Howletts Hierarchy adalah jenjang kebutuhan mulai dari intrisik sampai dengan ekstrinsik - achievement, advancement, recognition, growth, responsibility, and job nature are internal motivators. - Salary, benefits, working conditions, supervision, policy, safety, security, affiliation, and relationships are all externally motivated needs.

Konsep yang mampu menggambarkan terpenuhinya kebutuhan pegawai atas berbagai kebutuhan di atas dikenal dengan nama “kepuasan kerja”. Kepuasan kerja adalah sikap (rasa suka atau tidak suka) pegawai terhadap dimensi pekerjaan. Dimensi-dimensi pekerjaan yang secara umum telah diterima oleh berbagai pakar disiplin Perilaku Organisasi atau Manajemen Sumberdaya Manusia adalah : (1) Pekerjaan itu sendiri (work it self), gaji atau upah (pay), pengawasan dari atasan (supervision), rekan kerja (co-workers), sistem promosi (promotion) dan lingkungan kerja (working conditions). Jika pegawai merasa tidak puas terhadap dimensi-dimensi pekerjaan tesebut, bisa dimaknakan bahwa kebutuhan dalam bekerja tidak terpenuhi. Ketika kebutuhan kerja tidak terpenuhi maka motivasi kerja pun rendah, demikian pula sebaliknya.

Untuk memperkuat pendapat tadi, pernyataan berikut ini dapat dijadikan acuan. Job satisfaction represents several related attitudes which are most important characteristics of a job about which people have effective response. These to Luthans (1998) are: the work itself, pay, promotion opportunities, supervision and coworkers. Satu pendapat lagi yang mendukung hubungan antara kepuasan kerja dengan motivasi: “An employee’s motivation to work is continually related to job satisfaction of a subordinate. Motivation can be seen as an inner force that drives individuals to attain personal and organization goals” (Hoskinson, Porter, & Wrench, p.133).

Dari uraian di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa ada kaitan langsung antara sikap terhadap pekerjaan (kepuasan kerja) dengan motivasi kerja. Motivasi kerja pegawai tinggi ketika mereka merasa puas bekerja. Luthans (1998) asserts that motivation is the process that arouses, energizes, directs, and sustains behaviour and performance. That is, it is the process of stimulating people to action and to achieve a desired task. One way of stimulating people is to employ effective motivation, which makes workers more satisfied with and committed to their jobs.. Artinya agar pegawai senantiasa termotivasi untuk bekerja maka mereka harus memiliki kepuasan kerja yang tinggi. Dengan demikian ketika seseorang ingin mengetahui tingkat motivasi kerja, maka salah satu cara adalah dengan mengukur tingkat kepuasan kerja.


Bandung, November 2009










Selasa, 20 Oktober 2009

KECERDASAN EMOSIONAL DI SEKOLAH

On Emotional Intelligence: A Conversation with Daniel Goleman


Daniel Goleman, author of Emotional Intelligence: Why It Can Matter More Than IQ, covers the behavioral and brain sciences for The New York Times.

John O'Neil

Diterjemahkan oleh Hasan Mustafa, 2003

Sekolah-sekolah berdasarkan sejarah yang ada, mengkonsentrasikandiri untuk meningkatkan kemampuan kognisi siswanya. Tetapikecerdasan emosional seharusnya juga penting untuk dikembangkan,demikian pandangan Daniel Goleman

Tanya:
Konsepsi tradisional tentang kecerdasan, memfokuskan pada ketrampilan kognitif dan pengetahuan. Anda mencoba mengembangkan ”kecerdasan emosional” Apa yang ada maksudkan dengan istilah tersebut?

Jawab :
Kecerdasan Emosional merupakan satu cara lain untuk bertindak secara cerdas, di samping kecerdasan intelektual. Hal tersebut mencakup : 1. Kemampuan untuk memahami perasaan anda dan bagaimana anda menggunakan perasaan tersebut guna mengambil keputusan dalam kehidupan anda. 2. Hal lain lagi adalah kemampuan anda untuk mengendalikan perasaan ketika anda stres dan juga ketika ada dorongan yang meledak-ledak tanpa rencana di dalam diri anda. 3. Di samping hal-hal tadi, ada yang juga penting yaitu kemampuan untuk tetap termotivasi dan tetap optimis ketika anda tidak berhasil mencapai satu tujuan. 4. Kemampuan berempati – yaitu kemampuan memahami perasaan orang lain yang ada di sekitar anda. 5. Akhirnya dalam hidup ini anda juga harus mempunyai keterampilan hidup bersama dengan orang lain secara baik, mengendalikan emosi ketika berhubungan dengan orang lain, membujuk atau memimpin orang lain. – keterampilan sosial.

Tanya :
Dan Anda berpendapat bahwa kecerdasan emosional sama pentingnya bahkan konsep yang lebih akrab ketimbang IQ?

Jawab:
Kedua jenis kecerdasan tersebut sama pentingnya, namun kepentingannya berbeda. IQ memberikan kontribusi paling besar sekitar 20 persen terhadap keberhasilan dalam kehidupan . Sisanya 80 persen adalah hal yang lain, di antaranya adalah kecerdasan emosional

Tanya :
Adakah hasil penelitian yang bisa menunjukan korelasi?

Jawab :
Ya. Misalnya, anak laki-laki yang sangat impulsif, yaitu yang selalu membuat masalah ketika kelas 2 di sekolah dasar, mempunyai tingkat kenakalan enam sampai delapan kali dibanding anak-anak lainnya ketika mereka berusia sepuluh tahun. Anak perempuan kelas enam sekolah dasar yang mempunyai perasaan bingung, cemas, mudah marah, dan pembosan, dan sering merasa lapar; cenderung mengalami ketidakberaturan cara makan ketika mereka menginjak masa remaja. Kekurangan yang dimiliki oleh anak-anak perempuan tersebut adalah kesadaran tentang apa yang mereka rasakan, mereka bingung tentang apa yang mereka rasakan. Dengan kekurangan yang mereka miliki tersebut, mereka akan mengalami kesulitan ketika mereka tumbuh menjadi dewasa, bahkan ketika mereka telah bersuami, atau bekerja sekali pun.

Tanya:
Adakah korelasi antara ketrampilan emosional dengan keberhasilan akademik?

Jawab:
Sudah tentu. Bukan merupakan suatu kejutan. Kita tahu bahwakemampuan untuk menahan dorongan yang meledak-ledak tanpa rencana, atau menunda untuk suatu kesenangan, dan mengejar tujuan jangka panjang, merupakan hal-hal yang sangat membantu dalam bidang akademik.

Tanya:
Dalam buku Anda, diuraikan temuan yang menarik dari satu penelitian tentang "marshmallow" di Stanford.

Jawab:
Benar. Anak di sekolah taman kanak-kanak secara satu persatu dibawa ke sebuah ruangan dan di depannya disajikan sebuah ”marshmallow” (sejenis permen berwarna putih seperti kapas). Mereka diberi tahu bahwa mereka boleh makan permen tadi sekarang, tetapi.. jika mereka bisa menunda memakan permen tersebut sampai dengan peneliti masuk ruangan lagi setelah latihan lari, mereka akan memperoleh dua permen (marshmallow). Sekitar sepertiga dari mereka tidak sabar menunggu, sepertiganya lagi bisa menunggu lebih lama, dan sepertiga lainnya mampu menunggu kedatangan peneliti sekitar 15 sampai 20 menit. Ketika para penelti melacak anak-anak tersebut setelah mereka berusia 14 tahun kemudian, mereka menemukan bahwa hasil percobaan yang dahulu dilakukan, bisa memprediksi perilaku mereka ketika di sekolah. Anak-anak yang mampu menunggu, lebih mempunyai emosi yang stabil, lebih disukai oleh guru mereka, dan juga oleh teman-temannya, dan mampu untuk menunda keinginan untuk bersenang-senang. Anak-anak yang tidak bisa menunggu, cenderung mempunyai emosi yang tidak stabil, tidak tahan terhadap tekanan, cepat terlibat perkelahian, kurang disukai, dan tetap tidak mampu menunda untuk suatu kesenangan. Tetapi hasil temuan yang cukup kuat menunjukan bahwa mereka yang mampu menunggu mempunyai skor SAT 210 lebih banyak daripada yang tidak sabar menunggu.

Tanya:
Apakah karena kebiasaan-kebiasaan emosional mereka lebih kondusif bagi proses belajar ?

Jawab:
Nyata sekali, seorang anak yang bisa lengket dengan tugasnya akan bisa mengerjakan PR nya atau bisa menyelesaikan tugas lebih banyak daripada yang suka keluyuran atau ,mengerjakan hal-hal lainnya . Setiap kali kita terlalu disibukan oleh pikiran-pikiran berbau emosi, otak hampir tidak mempunyai tempat lagi untuk memori kerja, sehingga sulit berkonsentrasi

Tanya:
Anda tampaknya akrab dengan sekolah-sekolah yang telah berupaya mengajarkan keterampilan emosional. Bagaimana sih anda melakukanna?

Jawab:
Satu contoh yang baik terjadi di sekolah-sekolah di New Haven , di mana dari kelas 1 sampai kelas 12 , berjalan dan berkembang dengan baik. Programnya ditujukan pada pengembangan semua ketrampilan yang telah saya sebutkan tadi, seperti empati, bagaimana anda menenangkan diri sendiri ketika anda merasa cemas, dan lain sebagainya. Di beberapa tingkatan, pelajaran kecerdasan emosional diajarkan secara terpisah tiga kali per minggu . Di tingkatan lainnya, merupakan bagian dari pelajaran lain, misalnya mata ajaran kesehatan bahkan juga matematika. Dan semua guru yang telah akrab dengan gagasan kecerdasan emosional diberi kesempatan untuk melatih murid- muridnya. Jadi ketika seorang murid merasa kecewa, maka hal tersebut merupakan kesempatan bagi mereka untuk membantu murid tersebut. Di New Haven, mereka juga menggunakan teknik yang membuat adanya tanggapan-tanggapan emosional positif, sebagai bagian budaya sekolah . Misalnya, ada satu sekolah yang saya kunjungi menempelkan poster “stoplight” di setiap dinding di setiap ruangan. Hal tersebut dimaksudkan agar ketika ada murid yang kecewa, sedih, marah, maka dia harus “stop” terlebih dahulu, menenangankan diri, dan berpikir sejenak sebelum melakukan tindakan. Stoplight tadi ada yang berwarna merah, kuning dan hijau , gunanya adalah agar murid bisa mengelola emosi-emosi mereka.





Sabtu, 10 Oktober 2009

MEMOTIVASI SISWA BELAJAR

UPAYA-UPAYA YANG BISA DILAKUKAN UNTUK MEMOTIVASI SISWA BELAJAR



Disadur dan disusun ulang oleh Hasan Mustafa (2009) berdasarkan tulisan

Barbara Gross Davis, University of California, Berkeley

Beberapa siswa bisa benar-benar mempunyai semangat untuk belajar sendiri, namun tidak sedikit siswa yang memerlukan atau mengharapkan agar guru-guru mereka mengilhami, menantang, dan merangsang siswa untuk belajar. "Effective learning in the classroom depends on the teacher's ability ... to maintain the interest that brought students to the course in the first place" (Ericksen, 1978, p. 3). Pembelajaran yang berhasil di dalam kelas tergantung pada kemampuan guru…memelihara minat yang mampu membawa siswa untuk menempatkan belajar sebagai yang utama.

Sayangnya tidak pernah ada satu formula ajaib yang bisa digunakan untuk memotivasi siswa belajar. Banyak faktor yang berpengaruh yang bisa membuat siswa bekerja atau belajar (Bligh, 1971; Sass, 1989): minat pada mata pelajaran, persepsi tentang manfaat mata pelajaran, hasrat berprestasi, tingkat percaya diri dan harga diri siswa, begitu juga kesabaran dan ketekunan. Dan jelas, tidak semua siswa termotivasi untuk belajar oleh nilai yang sama. Kebutuhan, keinginan setiap siswa bisa berbeda-beda.

Para peneliti telah mencoba megidentifikasikan aspek-aspek situasi pembelajaran yang mampu menaikan atau meningkatkan motivasi diri (self-motivation) siswa untuk belajar. (Lowman, 1984; Lucas, 1990; Weinert and Kluwe, 1987; Bligh, 1971). Mendorong siswa menjadi mandiri, “self-motivated”, guru-guru dapat melakukan hal-hal seperti di bawah ini:

• Sering memberikan di awal pengajaran, umpan balik positif yang mendukung keyakinan siswa bahwa mereka bisa mencapai prestasi dalam belajar – Pygmalion Effect.

• Janganlah memberikan tugas-tugas yang terlampau mudah atau terlampau sulit.

• Bantulah siswa untuk menemukan makna dan menghargai mata pelajaran bagi pribadinya.

• Ciptakan iklim terbuka dan positif.

• Bantulah siswa agar mereka merasa dihargai sebagai anggota dari komunitas belajar.

Penelitian juga telah menunjukan bahwa praktik pengajaran sehari-hari yang baik dapat lebih baik mengatasi apatisme siswa untuk belajar ketimbang upaya khusus guna meningkatkan motivasi (Ericksen, 1978). Sebagian besar siswa menanggapi positif pada proses pembelajaran yang diorganisasikan secara baik dan diajarkan oleh guru-guru yang penuh minat dan semangat yang murni (tidak dibuat-buat atau terpaksa) untuk membantu siswa belajar. Jadi, kegiatan-kegiatan sehari-hari yang dilakukan oleh guru untuk meningkatkan pembelajaran, juga sangat penting untuk bisa menaikkan tingkat motivasi siswa untuk belajar.

A. Strategi Umum

Temukan/ciptakan kebutuhan siswa. Siswa akan belajar lebih baik ketika insentif dalam ruang kelas memberikan kepuasan kebutuhan pribadinya untuk bersekolah. Beberapa kebutuhan siswa antara lain adalah, kebutuhan untuk mempelajari sesuatu agar dapat mengatasi masalah atau mengerjakan suatu kegiatan, kebutuhan untuk memperoleh pengalaman baru, kebutuhan untuk menyempurnakan keterampilan, kebutuhan mengatasi tantangan, kebutuhan untuk menjadi kompeten, kebutuhan untuk berprestasi, kebutuhan untuk terlibat dan interaksi dengan orang lain. Memenuhi kebutuhan-kebutuhan tersebut akan meningkatkan motivasi siswa mengikuti pelajaran.(Source: McMillan and Forsyth, 1991)

Buat siswa agar berperan aktif dalam proses pembelajaran. Siswa mempelajari sesuatu dengan cara melakukan, membuat, menulis, merancang, menciptakan, dan bisa juga memecahkan masalah. Pasivitas (siswa pasif) akan menahan motivasi dan keingintahuannya. Lemparkan pertanyaan-pertanyaan, dorong siswa menjawab pertanyaan-pertanyaan. Jangan memberitahu jawabannya. Beranikan siswa untuk menjawab pertanyaan yang Anda ajukan, biarkan mereka menduga-duga jawabannya. Jawaban yang benar bukan tujuan utama. Tujuan utama adalah memberanikan siswa menjawab pertanyaan. Jika mungkin gunakan pendekatan “brainstorming”.

Tanyakan kepada siswa, apa saja yang bisa membuat kelas bisa mendorong mereka mau belajar. Sass (1989) bertanya kepada murid di kelasnya untuk mengingat kelas-kelas yang sebelumnya telah mereka ikuti. Kelas yang bagaimana yang membuat mereka termotivasi untuk belajar, dan kelas yang bagaimana yang kurang memotivasi. Setiap siswa diminta untuk menuliskan daftarnya, kemudian bagi ke dalam kelompok-kelompok kecil guna menyimpulkan secara consensus, kelas yang bagaimana yang memberikan andil pada tinggi dan rendahnya motivasi belajar siswa. Penelitian di atas duapuluh sekolah, Sass melaporkan ada sembilan karakter yang sama yang bisa memunculkan motivasi belajar siswa:

1. Antusiasme guru dalam mengajar

2. Mata pelajaran yang relevan

3. Organisasi sekolah

4. Tingkat kesulitan yang memadai dari mata pelajaran.

5. Partisipasi aktif siswa.

6. Variasi metode pengajaran

7. Hubungan baik antara guru dan siswa.

8. Contoh-contoh konkret dan bisa dimengerti oleh siswa.

B. Perilaku pembelajaran yang memotivasi siswa belajar

Tetapkan harapan yang tinggi namun realistis kepada siswa Anda. Penelitian menemukan bahwa harapan guru mempunyai dampak yang relatif kuat terhadap kinerja siswa. Jika Anda berperilaku sesuai dengan harapan yang Anda minta dari siswa Anda. Kerja keras, minat terhadap mata pelajaran, maka siswa pun akan berperilaku sama. Anda tidak bisa menuntut banyak dari siswa Anda ketika Anda tidak bisa memberi banyak atau berbuat banyak untuk mereka. Tetapkan harapan yang realistis ketika Anda memberikan tugas-tugas, presentasi, melakukan diskusi dan mengerjakan ujian-ujian. "Realistis" dalam konteks ini adalah standar yang Anda tetapkan cukup tinggi untuk memotivasi siswa berbuat sebaik mungkin yang mereka bisa. Jangan terlampau tinggi, karena akan membuat mereka frustasi dalam memenuhi harapan Anda. Untuk mengembangkan motivasi berprestasi, siswa harus yakin bahwa tugas yang Anda berikan pasti mungkin diselesaikan. Artinya harus ada kesempatan berhasil. (Sumber: American Psychological Association, 1992; Bligh, 1971; Forsyth and McMillan, 1991 -1 Lowman, 1984)

Bantulah siswa untuk menetapkan seperangkat tujuan yang bisa dicapai bagi dirinya sendiri. Gagal mencapai tujuan yang tidak realistik akan membuat siswa kecewa dan frustasi. Dorong dan beranikan siswa untuk fokus pada upaya perbaikan terus-menerus, tidak hanya sampai pada perolehan nilai tes atau kenaikan kelas. Bantulah siswa untuk mengevaluasi kemajuan dirinya sendiri, dengan cara melakukan kritik atas apa yang mereka lakukan sendiri, analisis kekuatan mereka, dan juga kelemahannya. Misalnya, minta siswa untuk menuliskan evaluasi diri di dua atau tiga mata pelajaran.(Sumber: Cashin, 1979; Forsyth and McMillan, 1991)

Katakan kepada siswa, apa yang seharusnya mereka lakukan agar bisa berhasil dalam mengikuti mata pelajaran Anda. Jangan membiarkan siswa Anda bersusah payah, berjuang untuk memahami apa yang Anda harapkan dari mereka. Yakinkan ulang bahwa mereka bisa mengikuti pelajaran Anda, dan kemukakan apa-apa saja yang harus mereka lakukan. Katakanlah sesuatu yang punya akibat, misalnya: Jika, Anda bisa memberikan dua contoh dari soal ini, Anda akan lulus”. “Bagi mereka yang kesulitan memberikan contoh, bisa bertanya, dan saya akan memberikan bantuan tambahan” atau “ Beginilah salah satu cara agar Anda bisa memahami pelajaran yang saya berikan, kalau belum bisa silakan tanya, saya akan bantu Anda” (Sumber: Cashin, 1979; Tiberius, 1990)

Perkuat motivasi-diri (intrinsic-motivation) para siswa. Hindari pesan-pesan yang bisa dimaknakan oleh siswa bahwa Anda lebih menekankan pada motivasi ekstrinsik . Alih-alih mengatakan : “Saya minta…”, “Anda harus…” ( mereka akan melakukan karena tekanan dari Anda sebagai guru – eksternal ) sebaiknya Anda katakan: “ Saya merasa Anda mampu menemukan jawabannya” atau “ Saya akan tertarik pada jawaban-jawaban Anda (Sumber: Lowman, 1990)

Hindari penciptaan suasana persaingan antar siswa. Kompetisi menghasilkan kecemasan yang bisa menyusup dalam proses pembelajaran. Kurangi kecenderungan siswa membandingkan dirinya dengan siswa lain. Bligh (1971) melaporkan bahwa para siswa lebih menaruh perhatian, menunjukan pemahamaman yang komprehensif, menyelesaikan banyak tugas, dan bersikap positif terhadap cara pengajaran ketika mereka bisa bekerjasama dengan teman-temannya dibanding dalam situasi yang kompetitif. (Sumber: Eble, 1988; Forsyth and McMillan, 1991)

Antusias pada mata pelajaran Anda. Antusiasme guru pada mata pelajarannya sendiri adalah faktor sangat penting yang membentuk motivasi siswa. Jika Anda bosan, apatis, malas-malasan, siswa Anda pun demikian. Biasanya, atusiasme guru datang dari kepercayaan diri, ketertarikan pada isi pelajaran, dan kesenangan mengajar pelajaran tersebut. Jika Anda tidak tertarik pada mata pelajaran Anda, Anda tidak berupaya mempelajarinya dengan baik, apa lagi mengembangkannya. Akibatnya Anda kurang menguasainya sehingga tingkat kepercayaan diri dalam mengajar menjadi rendah. Ajarkan mata pelajari yang Anda sukai. Itulah salah satu faktor penting yang membuat antusiasme Anda tinggi.

C. Strukturkan Mata Pelajaran Anda untuk Memotivasi Siswa

Bekerjalah berdasarkan minat dan kekuatan siswa. Temukan alasan mengapa siswa memilih mata pelajaran Anda. Bagaimana perasaan mereka terhadap mata pelajaran Anda, apa harapan mereka?. Lalu, cobalah untuk menemukan contoh-contoh, sutudi kasus, atau penugasan lain yang berkaitan dengan isi mata pelajaran dicocokan dengan minat dan pengalaman siswa. Misalnya, seorang guru kimia bisa dalam setiap pertemuan di kelas memberikan contoh konkret tentang bagaimana ilmu kima dapat mengatasi masalah lingkungan. Bagaimana kesulitan air bersih bisa diatasi dengan penerapan ilmu kimia. Jelaskan bagaimana isi dan tujuan mata pelajaran Anda bisa membantu siswa untuk mencapai tujuan pengajaran, professional (pekerjaan), atau juga tujuan-tujuan pribadi. (Sources: Brock, 1976; Cashin, 1979; Lucas, 1990)

Ketika memungkinkan, biarkan siswa memilih beberapa hal yang ingin dipelajarinya. Berilah siswa pilihan (option) menyusun laporan kerja, atau hal lain (tapi bukan ketika ujian). Kalau akan studi lapangan, ajak siswa untuk menentukan apa yang akan dilihatnya. Berikanlah alternatif-alternatif.(Sources: Ames and Ames, 1990; Cashin, 1979; Forsyth and McMillan, 1991; Lowman, 1984)

Tambah tingkat kesulitan di semester-semester yang lebih tinggi. Upayakan agar di awal semester siswa tidak mengalami kesulitan dalam memahami mata-mata pelajarannya. Begitu di awal semester dia merasa berhasil, guru-guru bisa mulai menambah kesulitan mata pelajaran di semester-semester berikutnya. Jika tugas-tugas dan ujian-ujian mencakup hal-hal yang mudah dan sulit, setiap siswa akan mempunyai kesempatan mengalami keberhasilan dan juga tantangan.(Source: Cashin, 1979)

Jangan seragamkan metode pengajaran Anda. Keanekaragaman metode atau cara pengajaran akan membangkitkan kembali keterlibatan siswa dalam proses pembelajaran, sehingga memotivasi mereka untuk belajar lebaih baik lagi. Hetikan cara mengajar hanya dengan satu cara. Bermain peran, diskusi, sudi kasus, demonstrasi, presentasi audiovisual, guru tamu, bisa juga kelompok-kelompok kerja kecil.(Sumber: Forsyth and McMillan, 1991)

D. Jangan menekankan pada nilai

Tekankan penguasaan materi ketimbang nilai. Ames dan Ames (1990) melaporkan penelitian atas dua guru matematika di tingkatan SMU. Guru pertama memberikan nilai untuk setiap tugas rumah, dan memberikan bobot 30 % dari nilai akhir. Guru kedua mengatakan kepada para siswanya untuk menyediakan waktu belajar di rumah 30 menit setiap malam – tidak boleh kurang-, dan membuat pertanyaan atas masalah yang tidak dipahaminya, guna ditanyakan kepada guru keesokan harinya. Guru ini menilai pekerjaan rumah hanya dua kategori nilai, memuaskan dan tidak memuaskan. Bagi yang tidak memuaskan diberi kesempatan untuk mengerjakan ulang pekerjaan rumahnya. Bobot dari pekerjaan rumah adalah 10% dalam nilai akhir. Walau pekerjaan rumah hanya diberi bobot lebih sedikit, ternyata guru kedua lebih berhasil meningkatkan motivasi belajar dibanding guru pertama.

Rancang ujian atau tes sesuai dengan jenjang pengajaran yang Anda inginkan. Anda sebagai guru bisa menginkan agar siswa hapal (recall), memahami (understand) atau penerapan (application). Susun soal-soal ujian atau tes sesuai dengan sasaran akhir dari mata pelajaran Anda. (Sumber: McKeachie, 1986)

Hindarkan penggunaan nilai ujian sebagai satu bentuk ancaman. Seperti yang dikatakan McKeachie (1986), ancaman untuk tidak boleh memperoleh nilai yang jelek, bagi sebagian siswa bisa mendorong kerja keras tapi bagi siswa lainnya bisa menjurus terjadinya ketidakjujuran akademik, misalnya nyontek ketika ujian, atau meniru pekerjaan rumah teman mereka, atau perbuatan lain yang kontra produktif.

E. Merespon hasil kerja siswa

Berikan umpan balik secepat mungkin hasil kerja siswa. Segera mengembalikan hasil ujian atau tugas-tugas siswa , dan segera pula mengumumkan secara terbuka khususnya atas hasil kerja yang baik. (Sumber: Cashin, 1979)

Beri imbalan bagi yang berhasil. Komentar yang positif atau pun negatif, keduanya bisa berpengaruh terhadap motivasi siswa, namun hasil penelitian secara konsisten mengindikasikan komentar positiflah yang lebih efektif. Pujian membangun rasa percaya diri siswa, kompetensi, dan harga diri. Jika hasil belajar atau kinerja siswa tidak baik, yakinkan kepadanya bahwa Anda percaya bahwa dia atau mereka pasti bisa memperbaikinya di waktu mendatang. (Sumber: Cashin, 1979; Lucas, 1990)



Tunjukan hasil kerja yang baik kepada siswa-siswa lainnya. Berbagi gagasan, pengetahuan, dan karya-karya individu siswa kepada siswa-siswa lainnya.

• Gandakan tugas-tugas yang terbaik dan bagikan kepada seluruh siswa.

• Presentasikan hasil kerja yang terbaik tersebut di hadapan siswa.

• Minta kepada siswa yang hasil kerjanya baik untuk menjelaskan proses kerjanya.

• Adakan sesi tanya jawab

Umpan balik atas hasil kerja buruk harus spesifik, Umpan balik negatif bisa mengarah pada iklim kelas yang negatif pula jika tidak dilakukan dengan benar. Kapan saja Anda memberikan komentar atas kinerja yang tidak baik dari siswa, haruslah jelas dan spesifik. Kesalahannya di mana, dan tunjukan apa yang seharusnya dilakukan siswa. Jangan memberi komentar tentang kepribadian siswa atau hal-hal lain di luar hasil belajarnya yang kurang baik (Sumber: Cashin, 1979)

Hindari komentar tanpa makna positif. Banyak siswa di kelas Anda yang cemas tentang kinerja dan kemampuan mereka. Sensitiflah, jangan memberikan komentar yang menyakitkan hati siswa, atau yang membuat siswa menjadi mempunyai perasaan bahwa dia memang tidak mampu.




Referensi


American Psychological Association. Learner-Centered Psychological Principles: Guidelines for School Redesign and Reform. Washington, D.C.: American Psychological Association, 1992.

Ames, R., and Ames, C. "Motivation and Effective Teaching." In B. F. Jones and L. Idol (eds.), Dimensions of Thinking and Cognitive Instruction. Hillsdale, N. J.: ErIbaum, 1990.

Angelo, T. A. "Ten Easy Pieces: Assessing Higher Learning in Four Dimensions." In T. A. Angelo (ed.), Classroom Research: Early Lessons from Success. New Directions for Teaching and Learning, no. 46. San Francisco: Jossey-Bass, 1991.

Bligh, D. A. What's the Use of Lecturing? Devon, England: Teaching Services Centre, University of Exeter, 1971.

Brock, S. C. Practitioners' Views on Teaching the Large Introductory College Course. Manhattan: Center for Faculty Evaluation and Development, Kansas State University, 1976.

Cashin, W. E. "Motivating Students." Idea Paper, no. 1. Manhattan: Center for Faculty Evaluation and Development in Higher Education, Kansas State University, 1979.

Daniel, J. W. "Survival Cards in Math." College Teaching, 1988, 36(3), 110.

Eble, K. E. The Craft of Teaching. (2nd ed.) San Francisco: Jossey-Bass, 1988.

Ericksen, S. C. "The Lecture." Memo to the Faculty, no. 60. Ann Arbor: Center for Research on Teaching and Learning, University of Michigan, 1978.

Erickson, B. L., and Strommer, D. W. Teaching College Freshmen. San Francisco: Jossey-Bass, 1991.

Fiore, N. "On Not Doing a Student's Homework." Chemistry TA Handbook. Berkeley: Chemistry Department, University of California, 1985.

Forsyth, D. R., and McMillan, J. H. "Practical Proposals for Motivating Students." In R. J. Menges and M. D. Svinicki (eds.), College Teaching: From Theory to Practice. New Directions in Teaching and Learning, no. 45. San Francisco: Jossey-Bass, 1991.

Lowman, J. Mastering the Techniques of Teaching. San Francisco: Jossey-Bass, 1984.

Lowman, J. "Promoting Motivation and Learning." College Teaching, 1990, 38(4), 136-39.

Lucas, A. F. "Using Psychological Models to Understand Student Motivation." In M. D. Svinicki (ed.), The Changing Face of College Teaching. New Directions for Teaching and Learning, no. 42. San Francisco: Jossey-Bass, 1990.

McKeachie, W. J. Teaching Tips. (8th ed.) Lexington, Mass.: Heath, 1986.

McMillan, J. H., and Forsyth, D. R. "What Theories of Motivation Say About Why Learners Learn." In R. J. Menges and M. D. Svinicki (eds.), College Teaching: From Theory to Practice. New Directions for Teaching and Learning, no. 45. San Francisco: Jossey-Bass, 1991.

Sass, E. J. "Motivation in the College Classroom: What Students Tell Us." Teaching of Psychology, 1989, 16(2), 86-88.

Tiberius, R. G. Small Group Teaching: A Trouble-Shooting Guide. Toronto: Ontario Institute for Studies in Education Press, 1990.

Weinert, F. E., and Kluwe, R. H. Metacognition, Motivation and Understanding. Hillsdale, N.J.: Erlbaum, 1987.






Senin, 07 September 2009

SIMPTOM DAN MASALAH PENELITIAN


 SIMPTOM DAN MASALAH PENELITIAN
Hasan Mustafa
     Ada pendapat yang sudah banyak diterima (walau tidak sepenuhnya benar) dalam hal penelitian, yaitu “penelitian selalu harus dimulai dari adanya suatu masalah”. Oleh karena itu hampir sebagian besar skripsi, tesis atau pun disertasi, dalam bab pendahuluannya membahas tentang masalah, pembatasan masalah dan perumusan masalah. Ketika kita memahami bahwa masalah adalah sebagai kesenjangan negatif antara apa yang seharusnya terjadi dengan apa yang senyatanya terjadi, maka penelitian senantiasa baru bisa dilakukan apabila ada satu fenomena negatif. Jika target penjualan produk “X” adalah 1000 unit per bulan, namun nyatanya hanya bisa terjual 600 unit, maka terjadi fenomena negatif dan itulah masalah penelitian kita.
    Sebelum kita menentukan masalah penelitian, terlebih dahulu kita harus bisa membedakannya dengan simptom. Untuk memudahkannya, kita ambil contoh bagaimana proses seorang dokter menemukan masalah yang diderita oleh pasiennya. Ketika seseorang datang ke dokter, pasti dokter bertanya tentang gejala-gejala yang dirasakan kurang enak oleh pasiennya. Misalnya, apakah dia susah bernafas, apakah suka batuk-batuk, apakah selera makannya menurun, apakah tidurnya nyenyak, dan lain sebagainya.
Intinya, dokter ingin mengetahui gejala-gejala negatif yang dialami atau dirasakan oleh pasiennya. Semua yang dialami, dirasakan oleh pasien dinamakan simptom.
     Lalu sebagai langkah awal, dokter melakukan pemeriksaan kecil untuk mengetahui penyebab terjadinya simptom tersebut. Dia akan minta pasiennya berbaring, diperiksa denyut jantungnya, diperiksa lidah dan tenggorokannya, diperiksa matanya, diukur suhu tubuhnya, dan lain sebagainya. Di langkah tersebut dokter telah melakukan penelitian guna menemukan masalah yang ada dalam diri pasiennya. Informasi (dalam penelitian sering dikenal dengan nama “data”) yang diperoleh dokter dari hasil wawancara dan pemeriksaan singkat tersebut lebih diarahkan untuk menemukan sesuatu yang menyebabkan pasiennya sakit. Begitu sudah diketahui masalahnya (sesuatu tadi) – penyakit yang diderita pasien-, maka mudah bagi dokter untuk untuk menetapkan obatnya (solusinya).  
      Ketika dokter belum yakin penyakit (masalah) apa yang diderita oleh pasiennya, dia melanjutkan penelitiannya dengan bantuan orang lain. Umumnya dokter meminta agar pasiennya melakukan pemeriksaan lainnya, misalnya pemeriksaan darah, radiologi, atau aspek lainnya melalui berbagai alat, mis CT Scan, MRI, dan lain sebagainya. Proses terakhir ini juga merupakan satu tahap penelitian  yang disebut sebagai proses pencarian data. Setelah data berhasil diperoleh, lalu dokter menganalisisnya guna menemukan masalah (penyakit) yang sesungguhnya.. Ketika masalah (penyakit) ditemukan maka solusinya bisa dilakukan, walau dalam kenyataannya tidak selalu demikian.
     Dari uraian siungkat tadi, secara ringkas bisa dimaknakan bahwa simptom adalah gejala-gejala negatif yang terjadi dalam diri seseorang, kelompok, organisasi, atau entitas-entitas lainnya yang memerlukan solusi, sedangkan masalah adalah penyebab terjadinya simptom. Produktivitas menurun, tingkat absensi bertambah, volume penjualan menurun, pengangguran bertambah, semua contoh tersebut adalah simptom, bukan masalah. Umumnya masalah tidak tampak dipermukaan, oleh karena itu perlu dilakukan penelitian yang seksama.
      Dengan demikian proses penentuan masalah penelitian bukanlah hal yang mudah. Misalnya, seorang manajer telah berupaya meningkatkan produktivitas dengan cara memperbesar upah perpotong produk yang dihasilkan, namun upaya tersebut kurang berhasil. Apa yang terjadi tersebut walau sudah menunjukan adanya masalah, namun bukan merupakan masalah yang sesungguhnya, melainkan baru merupakan “symptom” (tanda-tanda sesuatu sedang dalam kondisi buruk). Tugas manajer selanjutnya adalah menemukan masalah yaitu faktor-faktor yang diperhitungkan sebagai penyebab munculnya simptom tadi. Caranya adalah dengan mengumpulkan berbagai macam informasi atau data yang berkaitan langsung dengan simptom. Setelah data terkumpul maka tugas manajer berikutnya adalah menganalisis data. Dari hasil analisis tersebut, manajer dapat mengetahui penyebab terjadinya simptom, atau dengan kata lain, manajer telah menemukan masalah. Ketika masalahnya telah ditemukan maka akan lebih mudah manajer tadi mengurangi atau melenyapkan simptom yang dihadapi organisasinya.
      Hubungan simptom dan masalah dapat dianalogikan seperti "gunung es" . Yang tampak di permukaan laut adalah simptom, sedangkan masalahnya ada di dalam laut - tidak kelihatan. Tugas peneliti adalah menyelam ke dalam laut untuk dapat menemukan masalah.
Apa yang seharusnya diteliti?
     Contoh ini diambil dari buku Uma Sekaran 2003. Simptom: Walaupun telah terjadi perubahan yang dramatis dalam hal jumlah manajer wanita dalam dekade sekarang, namun jumlah wanita yang menduduki jabatan manajerial puncak ternyata sangat sedikit. Penelitian ini merupakan upaya untuk mengidentifikasi faktor-faktor organisasional yang merintangi wanita menduduki jabatan manajerial puncak.
     Untuk menemukan masalah penelitiannya, peneliti melakukan satu upaya yaitu studi literatur. Hasilnya sebagai berikut : Seringkali yang dijadikan alasan mengapa wanita tidak atau sangat sedikit menduduki jabatan puncak,  adalah karena baru sekarang mereka masuk ke jenjang manajerial. Artinya belum waktunya wanita sampai di puncak karier. Namun banyak wanita yang sekarang menduduki tingkat manajerial menengah merasa bahwa paling tidak ada dua unsur penghambat kemajuan karier wanita, yaitu : stereotype peran jender dan kekurangan akses informasi penting yang dimiliki wanita. (Crosby, 1985; Welch, 1980) 
     Stereotype peran jender, atau stereotype peran berdasarkan jenis kelamin adalah keyakinan masyarakat bahwa laki-laki lebih cocok menduduki posisi pemimpin yang harus memiliki kekuasaan dan wewenang, sedangkan wanita lebih cocok menjadi pengasuh dan mempunyai peran membantu orang lain. Hal ini cocok dengan pandangan “a glass ceiling effect” (Morrison, White, VanVelsor, 1987) – satu hambatan yang tidak kentara, yang mencegah wanita untuk maju menduduki tingkat manajerial puncak.. (Eagly, 1989; Kahn & Crosby, 1985). Kepercayaan atau keyakinan ini mempengaruhi posisi yang akan diberikan kepada setiap anggota organisasi. Laki-laki yang cakap diberi posisi lini dan dikembangkan untuk mengambil tanggungjawab posisi eksekutif, dan wanita yang cakap diberikan posisi staf dan “dead-end-jobs”. 
     Wanita juga seringkali dijauhkan dari jaringan kerja para “old-boys”, karena alasan jenis kelaminnya. Pertukaran informasi, strategi pengembangan karier, akses pada sumber-sumber daya penting, dan beberapa informasi penting untuk mobilitas ke atas, tidak diperoleh para pekerja wanita.
     Berdasarkan studi literatur, peneliti telah berhasil menemukan penyebab terjadinya simptom, yaitu stereo peran jender dan akses informasi penting. Tugas peneliti bukannya fokus hanya mencari data tentang simptom melainkan yang lebih utama dan terpenting adalah mencari data tentang stereo peran jender dan akses informasi penting yang dimiliki pegawai perempuan. Tugas peneliti adalah menemukan dan membahas masalah, bukan menemukan simptom.
Sumber informasi masalah
     Kadang kita bertanya pada diri kita sendiri :”Di mana saya bisa menemukan masalah dari fenomena yang akan saya teliti?” Ada beberapa tempat yang dapat dijadikan sebagai sumber masalah. Pertama adalah dari teori. Seperti yang dikemukakan oleh Kerlinger (1973) : “Teori adalah seperangkat konstruk atau konsep, definisi, dan proposisi yang saling berkaitan satu sama lain, yang mampu mewakili pandangan yang sistematik tentang suatu gejala (phenomena) dengan cara menspesifikasikan hubungan antar variabel, dengan maksud menjelaskan dan memprediksi gejala tersebut”.   Misalnya, bagi yang mempelajari teori tentang kinerja (performance) dengan baik, pastilah dia mengetahui variabel-variabel apa saja yang terlibat dalam pembentukan kinerja. Kemampuan, motivasi, dan kesempatan, hal-hal tersebutlah yang seringkali disebutkan. Artinya ketika terdapat kinerja yang kurang baik dari seorang atau sekelompok pegawai, maka ada tiga variabel yang perlu diteliti.
      Sumber masalah kedua adalah survai literatur (literature survey) atau bahan-bahan bacaan ilmiah atau pun populer. Jurnal-jurnal, majalah, koran, atau bahkan laporan-laporan penelitian. Melalui informasi-informasi yang ditulis di media-media tersebut, peneliti bisa menemukan masalah atas fenomena negatif yang menarik untuk diteliti. Karena pentingnya upaya penemuan masalah, beberapa pembimbing mewajibkan mahasiswa yang dibimbingnya membaca paling sedikit 25 artikel yang berkaitan dengan fenomena yang akan ditelitinya. Ada juga yang menuntut membaca paling sedikit 5 jurnal penelitian yang relevan.
     Sumber lainnya adalah pengalaman praktis yang dimiliki oleh pihak-pihak yang kesehariannya berada dalam lingkungan yang sering menghadapi fenomena seperti yang ingin dipelajari oleh peneliti. Seorang sales manager yang berpengalaman seringkali memahami mengapa seorang salesman gagal mencapai target penjualan. Seorang montir yang berpengalaman seringkali mengetahui mengapa mobil sering mogok.. Demikian pula seorang dokter yang berpengalaman, berdasarkan simptom yang diutarakan oleh pasiennya, dia segera tahu apa penyakit pasiennya.
Bandung, 2009
      

Kamis, 03 September 2009

DASAR PENYUSUNAN KUESIONER PENELITIAN

Dasar Penyusunan Kuesioner Penelitian
Hasan Mustafa
Kuesioner atau bahasa aslinya (Inggris) questionnaire adalah salah satu bentuk alat atau
instrumen yang digunakan untuk mencari data, di samping wawancara, observasi, dan
studi dokumentasi. Jika diterjemahkan artinya adalah daftar pertanyaan, tetapi dalam
praktiknya bisa jadi bukan daftar pertanyaan, melainkan daftar pernyataan. Kuesioner
atau dikenal juga dengan nama angket adalah alat pengambilan data yang disusun oleh
peneliti dalam bentuk tertulis yang harus dijawab oleh responden tanpa atau dengan
bantuan peneliti. Di dalamya terdapat seperangkat pertanyaan dan atau pernyataan dan
atau isian yang harus dijawab oleh responden di situ juga (dalam kuesioner). Jawaban
bisa sifatnya tertutup (alternatif jawabannya disediakan oleh peneliti), terbuka (responden
secara bebas menuliskan jawabannya), atau campuran (tetutup dan terbuka).
Seorang peneliti membuat kuesioner tertutup jika dia telah mampu menemukan berbagai
alternatif jawaban yang dianggapnya tepat bagi penelitiannya, atau jika dia tidak ingin
jawaban lain kecuali jawaban yang disediakannya. Misalnya YA atau TIDAK, SETUJU
atau TIDAK SETUJU, LAKI atau PEREMPUAN. Kuesioner terbuka disusun oleh
peneliti karena dia tidak mampu atau tidak mau menentukan jawaban atas pertanyaan,
peryataan, atau isian yang disusunNya. Misalnya : Etnis : …………, Saran Anda :
………..
Sebagai alat pengambilan data maka kuesioner harus dirancang sedemikian rupa agar
setiap butir pertanyaan atau pernyataan yang ada di dalamnya valid. Valid artinya sesuai,
cocok, dengan tujuan yang ingin dicapainya. Misalnya, kalau tujuan peneliti ingin
mengetahui sikap konsumen terhadap suatu produk maka setiap butir dalam kuesioner
tersebut harus mampu menghasilkan data yang menggambarkan konsep sikap konsumen,
bukan konsep yang lain. Validitas kuesioner dapat dicapai kalau penyusunannya
dilakukan secara benar.
Langkah Pertama : Kuasai konsep penelitian
Yang dimaksud dengan konsep penelitian adalah sesuatu hal yang ingin diteliti, yang
seringkali juga disebut sebagai variabel penelitian. Penguasaan konsep atau variabel
penelitian yang baik memungkinkan peneliti mampu menyusun butir-butir pertanyaan
atau pernyataan yang relevan. Misalkan, konsep atau variabel yang akan ditelitinya
adalah “produktivitas”. Jika peneliti memahami konsep produktivitas tersebut sebagai
“jumlah produk yang dihasilkan oleh organisasi dalam satu kurun waktu tertentu”, maka
dia cukup bertanya : “Berapa jumlah produk yang dihasilkan ?”. Kalau responden
menjawab : “100 unit”, maka data yang diperlukan untuk mengetahui tingkat
produktivitas telah tercapai. Yang menjadi pertanyaan penting adalah : “sudah
benarkah penguasaan peneliti tersebut atas konsep “produktivitas” ?” Kalau
ternyata penguasaan atas konsep tersebut belum sepenuhnya benar (biasanya berdasarkan
pandangan para pakar), maka data yang telah diperolehnya tersebut tadi (100 unit), belum
mampu mengungkap tingkat produktivitas yang seharusnya; dan ini berarti pertanyaan
yang diajukan masih belum valid.
Suatu konsep bisa bersifat konkret dan juga abstrak. Konsep “rumah, pohon, mobil,
iklan‟ merupakan konsep konkret karena bisa dilihat dan diraba oleh peneliti. “Motivasi,
kepuasan, bahagia, kecerdasan” merupakan beberapa contoh konsep yang abstrak, yang
dalam penelitian sosial, konsep yang abstrak tersebut dinamakan “construct”. Karena
sifatnya abstrak maka peguasaan atas suatu konstruk boleh dikatakan lebih rumit
ketimbang konsep.
Agar peneliti mempunyai pemahaman yang baik atas konsep atau konstrak penelitiannya
maka yang bersangkutan dituntut untuk melakukan studi literatur secara lebih mendalam
atas konsep penelitiannya. Literatur yang harus dibacanya harus cukup banyak namun
selektif agar pemahaman atas konsep penelitian tidak keliru.
Langkah kedua : Operasionalisasikan konsep/variabel penelitian.
Variabel atau konsep penelitian - khususnya yang sifatnya abstrak (konstruk) - harus
dioperasionalisasikan agar bisa dilakukan pengukuran melalui alat pengambilan data,
dalam kasus ini melalui kuesioner. Misalnya, kalau yang ingin diukur adalah tinggi badan
maka peneliti bisa bertanya : “Berapa meter tinggi badan anda?”; atau kalau yang ingin
diukur pendapatan maka bisa ditanyakan berapa rupiah gaji atau upahnya. Jawaban
responden umumnya sesuai dengan yang diharapkan peneliti karena konsep „tinggi badan
dan pendapatan” memiliki kemungkinan yang besar untuk dimaknakan sama, baik oleh
peneliti maupun oleh responden. Artinya, untuk variabel yang kongkret (konsep)
operasionalisasinya tidak terlampau rumit dibandingkan dengan variabel yang abstrak
(konstruk). Misalnya, untuk mengetahui bagaimana “motivasi” kerja seseorang peneliti
tidak bisa bertanya : “bagaimana motivasi kerja anda?”. Responden bisa kesulitan untuk
menjawab karena belum tentu dia memahami makna motivasi yang dimaksud oleh
peneliti. Kalau pun responden menjawab, belum tentu jawabannya benar menurut ukuran
yang dikehendaki oleh peneliti karena pemahaman atas konsep “motivasi” responden bisa
sangat berbeda dengan peneliti.
Pada prinsipnya pengoperasionalisasian definisi konsep atau variabel penelitian adalah
proses untuk menemukan indikator-indikator yang mampu merepresentasikan secara
utuh konsep atau variabel yang akan diteliti. Jika indikator (beberapa penulis
memberikan nama lain yaitu dimensi atau elemen) telah ditemukan, maka langkah
berikutnya adalah menyusun pertanyaan atau pernyataan yang mampu menggali data
tentang setiap indikator.
Contoh di bawah ini ( disadur dari buku Research Methods for Business, Uma Sekaran,
1992 ) - mungkin dapat membantu memahami proses pengoperasionalisasian konsep atau
variabel penelitian. Konsep atau variabel penelitian adalah “motivasi berprestasi”
(achievement motivation) yang dikembangkan oleh David McClelland . Pertama
ditentukan ciri-ciri umum atau karakteristik pribadi yang mempunyai motivasi
berprestasi. Ciri-ciri tersebut dinamakan dimensi-dimensi – (beberapa penulis
menamakannya indikator)
1. Mempunyai dorongan yang kuat untuk bekerja agar berprestasi
2. Kurang menyukai suasana rileks
3. Cenderung lebih suka kerja mandiri
4. Lebih memilih pekerjaan yang punya tantangan
5. Ingin segera memperoleh umpan balik atas hasil kerjanya
Walaupun konsep motivasi berprestasi telah dipecah ke dalam lima dimensi, namun
masih terasa abstrak. Untuk itu setiap dimensi dipecah lagi ke dalam beberapa elemen
yang sudah tidak lagi menggambarkan karakteristik (sifat) pribadi yang mempunyai
motivasi berprestasi, melainkan sudah mengarah pada bentuk-bentuk perilaku.
Dimensi 1: Pribadi yang mempunyai dorongan kuat untuk bekerja demi prestasi,
umumnya mempunyai perilaku : (a) tekun bekerja; (b) enggan meluangkan waktu untuk
istirahat; (c) gigih, tidak cepat putus asa.
Dimensi 2: Pribadi yang kurang menyukai rileks mempunyai perilaku yang (a)
cenderung selalu memikirkan pekerjaan, bahkan ketika di rumah sekali pun, oleh karena
itu mereka suka kerja lembur ; (b) cenderung mempunyai hobi lain, kecuali bekerja.
Dimensi 3: Pribadi yang suka bekerja mandiri mempunyai kecenderungan kurang
percaya pada orang lain, sehingga tampak sebagai sosok yang “sibuk sendiri”.
Dimensi 4: Pribadi yang memilih pekerjaan yang punya tantangan, cenderung menolak
kalau diberikan tugas-tugas yang rutin dan “biasa-biasa” saja. Demikian pula mereka
akan menolak jika pekerjaannya mempunyai resiko gagal sangat tinggi (bukan pribadi
yang “nekat”).
Dimensi 5: Pribadi yang tidak sabar memperoleh umpan balik atas hasil kerjanya
cenderung aktif mencari informasi atau bertanya tentang bagaimana hasil kerjanya baik
dari atasan, rekan kerja, bahkan kepada bawahannya sekali pun.
Dari uraian di atas tampak bahwa mulai dari 1 (satu) konsep yang abstrak (motivasi
berprestasi) dioperasionalisasikan pada hal-hal yang lebih konkret yaitu 5 (lima) dimensi
yang menjelaskan karateristik pribadi. Dan dari 5 (lima) dimensi dipecah lagi menjadi 10
(sepuluh) bentuk perilaku. Untuk jelasnya, urutan tersebut dapat digambarkan dalam
bentuk skema seperti berikut :
Langkah ketiga : Susun rancangan (draft) kuesioner untuk konsep atau variabel
utama penelitian
Umumnya penelitian melibatkan berbagai jenis variabel, yaitu variabel utama dan
variabel-variabel lain yang menunjang analisis serta interpretasi data (mis. jenis kelamin,
usia, pendapatan, dlsb). Langkah awal penyusunan kuesioner adalah menyusun
rancangan atau draft pertanyaan-pertanyaan yang dikaitkan langsung dengan variabel
atau konsep utama penelitian. Berdasarkan makna dari setiap elemen/indikator suatu
konsep atau variabel utama penelitian, disusun seperangkat pertanyaan . Misalnya untuk
bisa mengetahui kadar motivasi berprestasi (meneruskan contoh sebelumnya), kepada
responden dapat disodorkan kuesioner yang isi pertanyaan/pernyataannya sebagai
berikut:
Dimensi 1: Mempunyai dorongan kuat untuk bekerja demi prestasi
Elemen: a. Tekun bekerja; b.ketika bekerja, enggan meluangkan waktu untuk
istirahat; c.gigih tidak cepat putus asa.
Pertanyaan untuk elemen a:
”Anda tidak suka diganggu ketika sedang bekerja
Pertanyaan untuk elemen b:
”Anda sulit diajak beristirahat ketika sedang bekerja”
Pertanyaan untuk elemen c:
”Jika ada kesalahan, Anda akan mencari solusinya sampai dapat”
.........................dst.
Teruskan ke dimensi 2 sampai dengan 5
Di dalam setiap elemen dapat disusun lebih dari satu pertanyaan yang tentunya harus
relevan dengan makna elemen tersebut. Setelah tersusun, kaji ulang relevansi setiap
pertanyaan dengan elemen-elemen yang ada. Peneliti harus bisa membayangkan situasi
jika responden telah menjawab pertanyaan tersebut apakah jawabannya tersebut bisa
merepresentasikan makna elemen pertanyaan atau tidak. Misalnya jika responden
menjawab “sangat setuju” atas pernyataan “Anda bisa frustasi jika hasil kerja anda tidak
diberi komentar oleh atasan anda”, apakah jawaban tersebut bisa mengukur kadar elemen
umpan balik? Jika tidak maka pernyataan terebut harus diganti, dan lalu dikaji ulang.
Langkah keempat : Susun rancangan (draft) kuesioner untuk variabel pendukung.
Yang dimaksud dengan variabel pendukung adalah hal-hal lain yang ingin diketahui oleh
peneliti di samping variabel utama. Variabel pendukung bisa bersifat sekedar informatif
atau bisa dipakai sebagai sumber analisis. Misalnya data diri reseponden, seperti usia,
jenis kelamin, pendidikan, pendapatan, pekerjaan, dan lain-lain. Data diri responden
tersebut hanya bersifat infomatif jika tidak dikaitkan secara langsung dengan konsep atau
variabel utama penelitian. Jika peneliti mempunyai hipotesis bahwa pendidikan
mempunyai korelasi positif dengan kadar motivasi berprestasi, maka variabel pendidikan
sudah tidak sekedar bersifat informatif melainkan sebagai bahan analisis.
Penetapan variabel pendukung hendaknya memperhatikan aspek fungsinya. Peneliti bisa
saja minta responden mencantumkan namanya, namun jika data nama tersebut tidak
mempunyai fungsi bagi penelitian, sebaiknya peneliti tidak perlu memasukan pertanyaan
tentang nama responden.
Format kuesioner
1. Pengantar . Dalam kata pengantar, peneliti harus menjelaskan secara ringkas
tujuan dan kegunaan penelitian, serta harapan atau permintaan yang khusus
ditujukan kepada responden.
2. Profil responden. Fungsi pertanyaan yang menyangkut data diri responden adalah
agar peneliti mengetahui karakteristik biografik, demografik, atau sosial
responden penelitian . Walau pada awalnya hanya sekedar bersifat informatif,
namun seringkali bisa digunakan sebagai bahan analisis.
3. Daftar pertanyaan yang berkaitan dengan variabel utama penelitian
Jenis-jenis kuesioner
1. Pertanyaan dengan jawaban terbuka (Open Question)
2. Pertanyaan dengan jawaban tertutup (Closed Ended Question)
3. Pertanyaan dengan jawaban tertutup dan terbuka (Open Ended Question)
Untuk alternatif jawaban gunakan pedoman dalam teknik penskalaan (scaling)
Langkah kelima : Periksa ulang pertanyaan-pertanyaan yang ada dalam draft
kuesioner sehingga menjawab empat prinsip sebagai berikut :
1. Haruskan pertanyaan tersebut diajukan ?
2. Apakah pertanyaan tersebut relevan dengan tujuan penelitian?
3. Bisakah responden menjawab pertanyaan yang diajukan?
4. Maukah responden dengan senang hati menjawab pertanyaan ?
Langkah keenam : Uji coba draft kuesioner
Sebelum disusun dalam bentuk final, draft kuesioner harus diuji coba. Pilih beberapa
responden yang dinilai oleh peneliti mempunyai karakteristik yang relatif sama dengan
responden penelitian yang sesungguhnya. Minta bantuan kepada mereka untuk mengisi
kuesioner dan kemudian minta tanggapan atas bentuk, isi, bahasa, waktu, dan lain
sebagainya yang dianggappenting untuk penyempurnaan kuesioner tersebut. Uji coba
bisa dilakukan lebih dari satu kali, jadi setelah diperbaiki, diulang uji cobanya
Langkah ketujuh: Analisis validitas dan realibilitas kuesioner
Setelah dilakukan pengeditan atas bahasa, kata-kata, kuesioner harus analisis validitas
dan reliabilitasnya. Sampel yang dianggap memadai secara statistika minimal 30.
Gunakan rumus tertentu yang telah biasa digunakan unyuk uji ini.
Langkah kedelapan : Susun kuesioner final
Berdasarkan uji validitas dan reliabilitas, susun ulang kuesioner. Pertanyaan yang tidak
valid/reliabel diganti atau dihilangkan.
Daftar bacaan
1. Business Research Methods - Donald R. Cooper dan Pamela S. Schindler, 2001.
2.. Research Methods for Business – Uma Sekaran, 1992
Bandung, 27 Maret 2003 – Pelatihan Penyusunan Kuesioner, LPI UNPAR