On Emotional Intelligence: A Conversation with Daniel Goleman
Daniel Goleman, author of Emotional Intelligence: Why It Can Matter More Than IQ, covers the behavioral and brain sciences for The New York Times.
John O'Neil
Diterjemahkan oleh Hasan Mustafa, 2003
Sekolah-sekolah berdasarkan sejarah yang ada, mengkonsentrasikandiri untuk meningkatkan kemampuan kognisi siswanya. Tetapikecerdasan emosional seharusnya juga penting untuk dikembangkan,demikian pandangan Daniel Goleman
Tanya:
Konsepsi tradisional tentang kecerdasan, memfokuskan pada ketrampilan kognitif dan pengetahuan. Anda mencoba mengembangkan ”kecerdasan emosional” Apa yang ada maksudkan dengan istilah tersebut?
Jawab :
Kecerdasan Emosional merupakan satu cara lain untuk bertindak secara cerdas, di samping kecerdasan intelektual. Hal tersebut mencakup : 1. Kemampuan untuk memahami perasaan anda dan bagaimana anda menggunakan perasaan tersebut guna mengambil keputusan dalam kehidupan anda. 2. Hal lain lagi adalah kemampuan anda untuk mengendalikan perasaan ketika anda stres dan juga ketika ada dorongan yang meledak-ledak tanpa rencana di dalam diri anda. 3. Di samping hal-hal tadi, ada yang juga penting yaitu kemampuan untuk tetap termotivasi dan tetap optimis ketika anda tidak berhasil mencapai satu tujuan. 4. Kemampuan berempati – yaitu kemampuan memahami perasaan orang lain yang ada di sekitar anda. 5. Akhirnya dalam hidup ini anda juga harus mempunyai keterampilan hidup bersama dengan orang lain secara baik, mengendalikan emosi ketika berhubungan dengan orang lain, membujuk atau memimpin orang lain. – keterampilan sosial.
Tanya :
Dan Anda berpendapat bahwa kecerdasan emosional sama pentingnya bahkan konsep yang lebih akrab ketimbang IQ?
Jawab:
Kedua jenis kecerdasan tersebut sama pentingnya, namun kepentingannya berbeda. IQ memberikan kontribusi paling besar sekitar 20 persen terhadap keberhasilan dalam kehidupan . Sisanya 80 persen adalah hal yang lain, di antaranya adalah kecerdasan emosional
Tanya :
Adakah hasil penelitian yang bisa menunjukan korelasi?
Jawab :
Ya. Misalnya, anak laki-laki yang sangat impulsif, yaitu yang selalu membuat masalah ketika kelas 2 di sekolah dasar, mempunyai tingkat kenakalan enam sampai delapan kali dibanding anak-anak lainnya ketika mereka berusia sepuluh tahun. Anak perempuan kelas enam sekolah dasar yang mempunyai perasaan bingung, cemas, mudah marah, dan pembosan, dan sering merasa lapar; cenderung mengalami ketidakberaturan cara makan ketika mereka menginjak masa remaja. Kekurangan yang dimiliki oleh anak-anak perempuan tersebut adalah kesadaran tentang apa yang mereka rasakan, mereka bingung tentang apa yang mereka rasakan. Dengan kekurangan yang mereka miliki tersebut, mereka akan mengalami kesulitan ketika mereka tumbuh menjadi dewasa, bahkan ketika mereka telah bersuami, atau bekerja sekali pun.
Tanya:
Adakah korelasi antara ketrampilan emosional dengan keberhasilan akademik?
Jawab:
Sudah tentu. Bukan merupakan suatu kejutan. Kita tahu bahwakemampuan untuk menahan dorongan yang meledak-ledak tanpa rencana, atau menunda untuk suatu kesenangan, dan mengejar tujuan jangka panjang, merupakan hal-hal yang sangat membantu dalam bidang akademik.
Tanya:
Dalam buku Anda, diuraikan temuan yang menarik dari satu penelitian tentang "marshmallow" di Stanford.
Jawab:
Benar. Anak di sekolah taman kanak-kanak secara satu persatu dibawa ke sebuah ruangan dan di depannya disajikan sebuah ”marshmallow” (sejenis permen berwarna putih seperti kapas). Mereka diberi tahu bahwa mereka boleh makan permen tadi sekarang, tetapi.. jika mereka bisa menunda memakan permen tersebut sampai dengan peneliti masuk ruangan lagi setelah latihan lari, mereka akan memperoleh dua permen (marshmallow). Sekitar sepertiga dari mereka tidak sabar menunggu, sepertiganya lagi bisa menunggu lebih lama, dan sepertiga lainnya mampu menunggu kedatangan peneliti sekitar 15 sampai 20 menit. Ketika para penelti melacak anak-anak tersebut setelah mereka berusia 14 tahun kemudian, mereka menemukan bahwa hasil percobaan yang dahulu dilakukan, bisa memprediksi perilaku mereka ketika di sekolah. Anak-anak yang mampu menunggu, lebih mempunyai emosi yang stabil, lebih disukai oleh guru mereka, dan juga oleh teman-temannya, dan mampu untuk menunda keinginan untuk bersenang-senang. Anak-anak yang tidak bisa menunggu, cenderung mempunyai emosi yang tidak stabil, tidak tahan terhadap tekanan, cepat terlibat perkelahian, kurang disukai, dan tetap tidak mampu menunda untuk suatu kesenangan. Tetapi hasil temuan yang cukup kuat menunjukan bahwa mereka yang mampu menunggu mempunyai skor SAT 210 lebih banyak daripada yang tidak sabar menunggu.
Tanya:
Apakah karena kebiasaan-kebiasaan emosional mereka lebih kondusif bagi proses belajar ?
Jawab:
Nyata sekali, seorang anak yang bisa lengket dengan tugasnya akan bisa mengerjakan PR nya atau bisa menyelesaikan tugas lebih banyak daripada yang suka keluyuran atau ,mengerjakan hal-hal lainnya . Setiap kali kita terlalu disibukan oleh pikiran-pikiran berbau emosi, otak hampir tidak mempunyai tempat lagi untuk memori kerja, sehingga sulit berkonsentrasi
Tanya:
Anda tampaknya akrab dengan sekolah-sekolah yang telah berupaya mengajarkan keterampilan emosional. Bagaimana sih anda melakukanna?
Jawab:
Satu contoh yang baik terjadi di sekolah-sekolah di New Haven , di mana dari kelas 1 sampai kelas 12 , berjalan dan berkembang dengan baik. Programnya ditujukan pada pengembangan semua ketrampilan yang telah saya sebutkan tadi, seperti empati, bagaimana anda menenangkan diri sendiri ketika anda merasa cemas, dan lain sebagainya. Di beberapa tingkatan, pelajaran kecerdasan emosional diajarkan secara terpisah tiga kali per minggu . Di tingkatan lainnya, merupakan bagian dari pelajaran lain, misalnya mata ajaran kesehatan bahkan juga matematika. Dan semua guru yang telah akrab dengan gagasan kecerdasan emosional diberi kesempatan untuk melatih murid- muridnya. Jadi ketika seorang murid merasa kecewa, maka hal tersebut merupakan kesempatan bagi mereka untuk membantu murid tersebut. Di New Haven, mereka juga menggunakan teknik yang membuat adanya tanggapan-tanggapan emosional positif, sebagai bagian budaya sekolah . Misalnya, ada satu sekolah yang saya kunjungi menempelkan poster “stoplight” di setiap dinding di setiap ruangan. Hal tersebut dimaksudkan agar ketika ada murid yang kecewa, sedih, marah, maka dia harus “stop” terlebih dahulu, menenangankan diri, dan berpikir sejenak sebelum melakukan tindakan. Stoplight tadi ada yang berwarna merah, kuning dan hijau , gunanya adalah agar murid bisa mengelola emosi-emosi mereka.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar