Selasa, 20 Oktober 2009

KECERDASAN EMOSIONAL DI SEKOLAH

On Emotional Intelligence: A Conversation with Daniel Goleman


Daniel Goleman, author of Emotional Intelligence: Why It Can Matter More Than IQ, covers the behavioral and brain sciences for The New York Times.

John O'Neil

Diterjemahkan oleh Hasan Mustafa, 2003

Sekolah-sekolah berdasarkan sejarah yang ada, mengkonsentrasikandiri untuk meningkatkan kemampuan kognisi siswanya. Tetapikecerdasan emosional seharusnya juga penting untuk dikembangkan,demikian pandangan Daniel Goleman

Tanya:
Konsepsi tradisional tentang kecerdasan, memfokuskan pada ketrampilan kognitif dan pengetahuan. Anda mencoba mengembangkan ”kecerdasan emosional” Apa yang ada maksudkan dengan istilah tersebut?

Jawab :
Kecerdasan Emosional merupakan satu cara lain untuk bertindak secara cerdas, di samping kecerdasan intelektual. Hal tersebut mencakup : 1. Kemampuan untuk memahami perasaan anda dan bagaimana anda menggunakan perasaan tersebut guna mengambil keputusan dalam kehidupan anda. 2. Hal lain lagi adalah kemampuan anda untuk mengendalikan perasaan ketika anda stres dan juga ketika ada dorongan yang meledak-ledak tanpa rencana di dalam diri anda. 3. Di samping hal-hal tadi, ada yang juga penting yaitu kemampuan untuk tetap termotivasi dan tetap optimis ketika anda tidak berhasil mencapai satu tujuan. 4. Kemampuan berempati – yaitu kemampuan memahami perasaan orang lain yang ada di sekitar anda. 5. Akhirnya dalam hidup ini anda juga harus mempunyai keterampilan hidup bersama dengan orang lain secara baik, mengendalikan emosi ketika berhubungan dengan orang lain, membujuk atau memimpin orang lain. – keterampilan sosial.

Tanya :
Dan Anda berpendapat bahwa kecerdasan emosional sama pentingnya bahkan konsep yang lebih akrab ketimbang IQ?

Jawab:
Kedua jenis kecerdasan tersebut sama pentingnya, namun kepentingannya berbeda. IQ memberikan kontribusi paling besar sekitar 20 persen terhadap keberhasilan dalam kehidupan . Sisanya 80 persen adalah hal yang lain, di antaranya adalah kecerdasan emosional

Tanya :
Adakah hasil penelitian yang bisa menunjukan korelasi?

Jawab :
Ya. Misalnya, anak laki-laki yang sangat impulsif, yaitu yang selalu membuat masalah ketika kelas 2 di sekolah dasar, mempunyai tingkat kenakalan enam sampai delapan kali dibanding anak-anak lainnya ketika mereka berusia sepuluh tahun. Anak perempuan kelas enam sekolah dasar yang mempunyai perasaan bingung, cemas, mudah marah, dan pembosan, dan sering merasa lapar; cenderung mengalami ketidakberaturan cara makan ketika mereka menginjak masa remaja. Kekurangan yang dimiliki oleh anak-anak perempuan tersebut adalah kesadaran tentang apa yang mereka rasakan, mereka bingung tentang apa yang mereka rasakan. Dengan kekurangan yang mereka miliki tersebut, mereka akan mengalami kesulitan ketika mereka tumbuh menjadi dewasa, bahkan ketika mereka telah bersuami, atau bekerja sekali pun.

Tanya:
Adakah korelasi antara ketrampilan emosional dengan keberhasilan akademik?

Jawab:
Sudah tentu. Bukan merupakan suatu kejutan. Kita tahu bahwakemampuan untuk menahan dorongan yang meledak-ledak tanpa rencana, atau menunda untuk suatu kesenangan, dan mengejar tujuan jangka panjang, merupakan hal-hal yang sangat membantu dalam bidang akademik.

Tanya:
Dalam buku Anda, diuraikan temuan yang menarik dari satu penelitian tentang "marshmallow" di Stanford.

Jawab:
Benar. Anak di sekolah taman kanak-kanak secara satu persatu dibawa ke sebuah ruangan dan di depannya disajikan sebuah ”marshmallow” (sejenis permen berwarna putih seperti kapas). Mereka diberi tahu bahwa mereka boleh makan permen tadi sekarang, tetapi.. jika mereka bisa menunda memakan permen tersebut sampai dengan peneliti masuk ruangan lagi setelah latihan lari, mereka akan memperoleh dua permen (marshmallow). Sekitar sepertiga dari mereka tidak sabar menunggu, sepertiganya lagi bisa menunggu lebih lama, dan sepertiga lainnya mampu menunggu kedatangan peneliti sekitar 15 sampai 20 menit. Ketika para penelti melacak anak-anak tersebut setelah mereka berusia 14 tahun kemudian, mereka menemukan bahwa hasil percobaan yang dahulu dilakukan, bisa memprediksi perilaku mereka ketika di sekolah. Anak-anak yang mampu menunggu, lebih mempunyai emosi yang stabil, lebih disukai oleh guru mereka, dan juga oleh teman-temannya, dan mampu untuk menunda keinginan untuk bersenang-senang. Anak-anak yang tidak bisa menunggu, cenderung mempunyai emosi yang tidak stabil, tidak tahan terhadap tekanan, cepat terlibat perkelahian, kurang disukai, dan tetap tidak mampu menunda untuk suatu kesenangan. Tetapi hasil temuan yang cukup kuat menunjukan bahwa mereka yang mampu menunggu mempunyai skor SAT 210 lebih banyak daripada yang tidak sabar menunggu.

Tanya:
Apakah karena kebiasaan-kebiasaan emosional mereka lebih kondusif bagi proses belajar ?

Jawab:
Nyata sekali, seorang anak yang bisa lengket dengan tugasnya akan bisa mengerjakan PR nya atau bisa menyelesaikan tugas lebih banyak daripada yang suka keluyuran atau ,mengerjakan hal-hal lainnya . Setiap kali kita terlalu disibukan oleh pikiran-pikiran berbau emosi, otak hampir tidak mempunyai tempat lagi untuk memori kerja, sehingga sulit berkonsentrasi

Tanya:
Anda tampaknya akrab dengan sekolah-sekolah yang telah berupaya mengajarkan keterampilan emosional. Bagaimana sih anda melakukanna?

Jawab:
Satu contoh yang baik terjadi di sekolah-sekolah di New Haven , di mana dari kelas 1 sampai kelas 12 , berjalan dan berkembang dengan baik. Programnya ditujukan pada pengembangan semua ketrampilan yang telah saya sebutkan tadi, seperti empati, bagaimana anda menenangkan diri sendiri ketika anda merasa cemas, dan lain sebagainya. Di beberapa tingkatan, pelajaran kecerdasan emosional diajarkan secara terpisah tiga kali per minggu . Di tingkatan lainnya, merupakan bagian dari pelajaran lain, misalnya mata ajaran kesehatan bahkan juga matematika. Dan semua guru yang telah akrab dengan gagasan kecerdasan emosional diberi kesempatan untuk melatih murid- muridnya. Jadi ketika seorang murid merasa kecewa, maka hal tersebut merupakan kesempatan bagi mereka untuk membantu murid tersebut. Di New Haven, mereka juga menggunakan teknik yang membuat adanya tanggapan-tanggapan emosional positif, sebagai bagian budaya sekolah . Misalnya, ada satu sekolah yang saya kunjungi menempelkan poster “stoplight” di setiap dinding di setiap ruangan. Hal tersebut dimaksudkan agar ketika ada murid yang kecewa, sedih, marah, maka dia harus “stop” terlebih dahulu, menenangankan diri, dan berpikir sejenak sebelum melakukan tindakan. Stoplight tadi ada yang berwarna merah, kuning dan hijau , gunanya adalah agar murid bisa mengelola emosi-emosi mereka.





Sabtu, 10 Oktober 2009

MEMOTIVASI SISWA BELAJAR

UPAYA-UPAYA YANG BISA DILAKUKAN UNTUK MEMOTIVASI SISWA BELAJAR



Disadur dan disusun ulang oleh Hasan Mustafa (2009) berdasarkan tulisan

Barbara Gross Davis, University of California, Berkeley

Beberapa siswa bisa benar-benar mempunyai semangat untuk belajar sendiri, namun tidak sedikit siswa yang memerlukan atau mengharapkan agar guru-guru mereka mengilhami, menantang, dan merangsang siswa untuk belajar. "Effective learning in the classroom depends on the teacher's ability ... to maintain the interest that brought students to the course in the first place" (Ericksen, 1978, p. 3). Pembelajaran yang berhasil di dalam kelas tergantung pada kemampuan guru…memelihara minat yang mampu membawa siswa untuk menempatkan belajar sebagai yang utama.

Sayangnya tidak pernah ada satu formula ajaib yang bisa digunakan untuk memotivasi siswa belajar. Banyak faktor yang berpengaruh yang bisa membuat siswa bekerja atau belajar (Bligh, 1971; Sass, 1989): minat pada mata pelajaran, persepsi tentang manfaat mata pelajaran, hasrat berprestasi, tingkat percaya diri dan harga diri siswa, begitu juga kesabaran dan ketekunan. Dan jelas, tidak semua siswa termotivasi untuk belajar oleh nilai yang sama. Kebutuhan, keinginan setiap siswa bisa berbeda-beda.

Para peneliti telah mencoba megidentifikasikan aspek-aspek situasi pembelajaran yang mampu menaikan atau meningkatkan motivasi diri (self-motivation) siswa untuk belajar. (Lowman, 1984; Lucas, 1990; Weinert and Kluwe, 1987; Bligh, 1971). Mendorong siswa menjadi mandiri, “self-motivated”, guru-guru dapat melakukan hal-hal seperti di bawah ini:

• Sering memberikan di awal pengajaran, umpan balik positif yang mendukung keyakinan siswa bahwa mereka bisa mencapai prestasi dalam belajar – Pygmalion Effect.

• Janganlah memberikan tugas-tugas yang terlampau mudah atau terlampau sulit.

• Bantulah siswa untuk menemukan makna dan menghargai mata pelajaran bagi pribadinya.

• Ciptakan iklim terbuka dan positif.

• Bantulah siswa agar mereka merasa dihargai sebagai anggota dari komunitas belajar.

Penelitian juga telah menunjukan bahwa praktik pengajaran sehari-hari yang baik dapat lebih baik mengatasi apatisme siswa untuk belajar ketimbang upaya khusus guna meningkatkan motivasi (Ericksen, 1978). Sebagian besar siswa menanggapi positif pada proses pembelajaran yang diorganisasikan secara baik dan diajarkan oleh guru-guru yang penuh minat dan semangat yang murni (tidak dibuat-buat atau terpaksa) untuk membantu siswa belajar. Jadi, kegiatan-kegiatan sehari-hari yang dilakukan oleh guru untuk meningkatkan pembelajaran, juga sangat penting untuk bisa menaikkan tingkat motivasi siswa untuk belajar.

A. Strategi Umum

Temukan/ciptakan kebutuhan siswa. Siswa akan belajar lebih baik ketika insentif dalam ruang kelas memberikan kepuasan kebutuhan pribadinya untuk bersekolah. Beberapa kebutuhan siswa antara lain adalah, kebutuhan untuk mempelajari sesuatu agar dapat mengatasi masalah atau mengerjakan suatu kegiatan, kebutuhan untuk memperoleh pengalaman baru, kebutuhan untuk menyempurnakan keterampilan, kebutuhan mengatasi tantangan, kebutuhan untuk menjadi kompeten, kebutuhan untuk berprestasi, kebutuhan untuk terlibat dan interaksi dengan orang lain. Memenuhi kebutuhan-kebutuhan tersebut akan meningkatkan motivasi siswa mengikuti pelajaran.(Source: McMillan and Forsyth, 1991)

Buat siswa agar berperan aktif dalam proses pembelajaran. Siswa mempelajari sesuatu dengan cara melakukan, membuat, menulis, merancang, menciptakan, dan bisa juga memecahkan masalah. Pasivitas (siswa pasif) akan menahan motivasi dan keingintahuannya. Lemparkan pertanyaan-pertanyaan, dorong siswa menjawab pertanyaan-pertanyaan. Jangan memberitahu jawabannya. Beranikan siswa untuk menjawab pertanyaan yang Anda ajukan, biarkan mereka menduga-duga jawabannya. Jawaban yang benar bukan tujuan utama. Tujuan utama adalah memberanikan siswa menjawab pertanyaan. Jika mungkin gunakan pendekatan “brainstorming”.

Tanyakan kepada siswa, apa saja yang bisa membuat kelas bisa mendorong mereka mau belajar. Sass (1989) bertanya kepada murid di kelasnya untuk mengingat kelas-kelas yang sebelumnya telah mereka ikuti. Kelas yang bagaimana yang membuat mereka termotivasi untuk belajar, dan kelas yang bagaimana yang kurang memotivasi. Setiap siswa diminta untuk menuliskan daftarnya, kemudian bagi ke dalam kelompok-kelompok kecil guna menyimpulkan secara consensus, kelas yang bagaimana yang memberikan andil pada tinggi dan rendahnya motivasi belajar siswa. Penelitian di atas duapuluh sekolah, Sass melaporkan ada sembilan karakter yang sama yang bisa memunculkan motivasi belajar siswa:

1. Antusiasme guru dalam mengajar

2. Mata pelajaran yang relevan

3. Organisasi sekolah

4. Tingkat kesulitan yang memadai dari mata pelajaran.

5. Partisipasi aktif siswa.

6. Variasi metode pengajaran

7. Hubungan baik antara guru dan siswa.

8. Contoh-contoh konkret dan bisa dimengerti oleh siswa.

B. Perilaku pembelajaran yang memotivasi siswa belajar

Tetapkan harapan yang tinggi namun realistis kepada siswa Anda. Penelitian menemukan bahwa harapan guru mempunyai dampak yang relatif kuat terhadap kinerja siswa. Jika Anda berperilaku sesuai dengan harapan yang Anda minta dari siswa Anda. Kerja keras, minat terhadap mata pelajaran, maka siswa pun akan berperilaku sama. Anda tidak bisa menuntut banyak dari siswa Anda ketika Anda tidak bisa memberi banyak atau berbuat banyak untuk mereka. Tetapkan harapan yang realistis ketika Anda memberikan tugas-tugas, presentasi, melakukan diskusi dan mengerjakan ujian-ujian. "Realistis" dalam konteks ini adalah standar yang Anda tetapkan cukup tinggi untuk memotivasi siswa berbuat sebaik mungkin yang mereka bisa. Jangan terlampau tinggi, karena akan membuat mereka frustasi dalam memenuhi harapan Anda. Untuk mengembangkan motivasi berprestasi, siswa harus yakin bahwa tugas yang Anda berikan pasti mungkin diselesaikan. Artinya harus ada kesempatan berhasil. (Sumber: American Psychological Association, 1992; Bligh, 1971; Forsyth and McMillan, 1991 -1 Lowman, 1984)

Bantulah siswa untuk menetapkan seperangkat tujuan yang bisa dicapai bagi dirinya sendiri. Gagal mencapai tujuan yang tidak realistik akan membuat siswa kecewa dan frustasi. Dorong dan beranikan siswa untuk fokus pada upaya perbaikan terus-menerus, tidak hanya sampai pada perolehan nilai tes atau kenaikan kelas. Bantulah siswa untuk mengevaluasi kemajuan dirinya sendiri, dengan cara melakukan kritik atas apa yang mereka lakukan sendiri, analisis kekuatan mereka, dan juga kelemahannya. Misalnya, minta siswa untuk menuliskan evaluasi diri di dua atau tiga mata pelajaran.(Sumber: Cashin, 1979; Forsyth and McMillan, 1991)

Katakan kepada siswa, apa yang seharusnya mereka lakukan agar bisa berhasil dalam mengikuti mata pelajaran Anda. Jangan membiarkan siswa Anda bersusah payah, berjuang untuk memahami apa yang Anda harapkan dari mereka. Yakinkan ulang bahwa mereka bisa mengikuti pelajaran Anda, dan kemukakan apa-apa saja yang harus mereka lakukan. Katakanlah sesuatu yang punya akibat, misalnya: Jika, Anda bisa memberikan dua contoh dari soal ini, Anda akan lulus”. “Bagi mereka yang kesulitan memberikan contoh, bisa bertanya, dan saya akan memberikan bantuan tambahan” atau “ Beginilah salah satu cara agar Anda bisa memahami pelajaran yang saya berikan, kalau belum bisa silakan tanya, saya akan bantu Anda” (Sumber: Cashin, 1979; Tiberius, 1990)

Perkuat motivasi-diri (intrinsic-motivation) para siswa. Hindari pesan-pesan yang bisa dimaknakan oleh siswa bahwa Anda lebih menekankan pada motivasi ekstrinsik . Alih-alih mengatakan : “Saya minta…”, “Anda harus…” ( mereka akan melakukan karena tekanan dari Anda sebagai guru – eksternal ) sebaiknya Anda katakan: “ Saya merasa Anda mampu menemukan jawabannya” atau “ Saya akan tertarik pada jawaban-jawaban Anda (Sumber: Lowman, 1990)

Hindari penciptaan suasana persaingan antar siswa. Kompetisi menghasilkan kecemasan yang bisa menyusup dalam proses pembelajaran. Kurangi kecenderungan siswa membandingkan dirinya dengan siswa lain. Bligh (1971) melaporkan bahwa para siswa lebih menaruh perhatian, menunjukan pemahamaman yang komprehensif, menyelesaikan banyak tugas, dan bersikap positif terhadap cara pengajaran ketika mereka bisa bekerjasama dengan teman-temannya dibanding dalam situasi yang kompetitif. (Sumber: Eble, 1988; Forsyth and McMillan, 1991)

Antusias pada mata pelajaran Anda. Antusiasme guru pada mata pelajarannya sendiri adalah faktor sangat penting yang membentuk motivasi siswa. Jika Anda bosan, apatis, malas-malasan, siswa Anda pun demikian. Biasanya, atusiasme guru datang dari kepercayaan diri, ketertarikan pada isi pelajaran, dan kesenangan mengajar pelajaran tersebut. Jika Anda tidak tertarik pada mata pelajaran Anda, Anda tidak berupaya mempelajarinya dengan baik, apa lagi mengembangkannya. Akibatnya Anda kurang menguasainya sehingga tingkat kepercayaan diri dalam mengajar menjadi rendah. Ajarkan mata pelajari yang Anda sukai. Itulah salah satu faktor penting yang membuat antusiasme Anda tinggi.

C. Strukturkan Mata Pelajaran Anda untuk Memotivasi Siswa

Bekerjalah berdasarkan minat dan kekuatan siswa. Temukan alasan mengapa siswa memilih mata pelajaran Anda. Bagaimana perasaan mereka terhadap mata pelajaran Anda, apa harapan mereka?. Lalu, cobalah untuk menemukan contoh-contoh, sutudi kasus, atau penugasan lain yang berkaitan dengan isi mata pelajaran dicocokan dengan minat dan pengalaman siswa. Misalnya, seorang guru kimia bisa dalam setiap pertemuan di kelas memberikan contoh konkret tentang bagaimana ilmu kima dapat mengatasi masalah lingkungan. Bagaimana kesulitan air bersih bisa diatasi dengan penerapan ilmu kimia. Jelaskan bagaimana isi dan tujuan mata pelajaran Anda bisa membantu siswa untuk mencapai tujuan pengajaran, professional (pekerjaan), atau juga tujuan-tujuan pribadi. (Sources: Brock, 1976; Cashin, 1979; Lucas, 1990)

Ketika memungkinkan, biarkan siswa memilih beberapa hal yang ingin dipelajarinya. Berilah siswa pilihan (option) menyusun laporan kerja, atau hal lain (tapi bukan ketika ujian). Kalau akan studi lapangan, ajak siswa untuk menentukan apa yang akan dilihatnya. Berikanlah alternatif-alternatif.(Sources: Ames and Ames, 1990; Cashin, 1979; Forsyth and McMillan, 1991; Lowman, 1984)

Tambah tingkat kesulitan di semester-semester yang lebih tinggi. Upayakan agar di awal semester siswa tidak mengalami kesulitan dalam memahami mata-mata pelajarannya. Begitu di awal semester dia merasa berhasil, guru-guru bisa mulai menambah kesulitan mata pelajaran di semester-semester berikutnya. Jika tugas-tugas dan ujian-ujian mencakup hal-hal yang mudah dan sulit, setiap siswa akan mempunyai kesempatan mengalami keberhasilan dan juga tantangan.(Source: Cashin, 1979)

Jangan seragamkan metode pengajaran Anda. Keanekaragaman metode atau cara pengajaran akan membangkitkan kembali keterlibatan siswa dalam proses pembelajaran, sehingga memotivasi mereka untuk belajar lebaih baik lagi. Hetikan cara mengajar hanya dengan satu cara. Bermain peran, diskusi, sudi kasus, demonstrasi, presentasi audiovisual, guru tamu, bisa juga kelompok-kelompok kerja kecil.(Sumber: Forsyth and McMillan, 1991)

D. Jangan menekankan pada nilai

Tekankan penguasaan materi ketimbang nilai. Ames dan Ames (1990) melaporkan penelitian atas dua guru matematika di tingkatan SMU. Guru pertama memberikan nilai untuk setiap tugas rumah, dan memberikan bobot 30 % dari nilai akhir. Guru kedua mengatakan kepada para siswanya untuk menyediakan waktu belajar di rumah 30 menit setiap malam – tidak boleh kurang-, dan membuat pertanyaan atas masalah yang tidak dipahaminya, guna ditanyakan kepada guru keesokan harinya. Guru ini menilai pekerjaan rumah hanya dua kategori nilai, memuaskan dan tidak memuaskan. Bagi yang tidak memuaskan diberi kesempatan untuk mengerjakan ulang pekerjaan rumahnya. Bobot dari pekerjaan rumah adalah 10% dalam nilai akhir. Walau pekerjaan rumah hanya diberi bobot lebih sedikit, ternyata guru kedua lebih berhasil meningkatkan motivasi belajar dibanding guru pertama.

Rancang ujian atau tes sesuai dengan jenjang pengajaran yang Anda inginkan. Anda sebagai guru bisa menginkan agar siswa hapal (recall), memahami (understand) atau penerapan (application). Susun soal-soal ujian atau tes sesuai dengan sasaran akhir dari mata pelajaran Anda. (Sumber: McKeachie, 1986)

Hindarkan penggunaan nilai ujian sebagai satu bentuk ancaman. Seperti yang dikatakan McKeachie (1986), ancaman untuk tidak boleh memperoleh nilai yang jelek, bagi sebagian siswa bisa mendorong kerja keras tapi bagi siswa lainnya bisa menjurus terjadinya ketidakjujuran akademik, misalnya nyontek ketika ujian, atau meniru pekerjaan rumah teman mereka, atau perbuatan lain yang kontra produktif.

E. Merespon hasil kerja siswa

Berikan umpan balik secepat mungkin hasil kerja siswa. Segera mengembalikan hasil ujian atau tugas-tugas siswa , dan segera pula mengumumkan secara terbuka khususnya atas hasil kerja yang baik. (Sumber: Cashin, 1979)

Beri imbalan bagi yang berhasil. Komentar yang positif atau pun negatif, keduanya bisa berpengaruh terhadap motivasi siswa, namun hasil penelitian secara konsisten mengindikasikan komentar positiflah yang lebih efektif. Pujian membangun rasa percaya diri siswa, kompetensi, dan harga diri. Jika hasil belajar atau kinerja siswa tidak baik, yakinkan kepadanya bahwa Anda percaya bahwa dia atau mereka pasti bisa memperbaikinya di waktu mendatang. (Sumber: Cashin, 1979; Lucas, 1990)



Tunjukan hasil kerja yang baik kepada siswa-siswa lainnya. Berbagi gagasan, pengetahuan, dan karya-karya individu siswa kepada siswa-siswa lainnya.

• Gandakan tugas-tugas yang terbaik dan bagikan kepada seluruh siswa.

• Presentasikan hasil kerja yang terbaik tersebut di hadapan siswa.

• Minta kepada siswa yang hasil kerjanya baik untuk menjelaskan proses kerjanya.

• Adakan sesi tanya jawab

Umpan balik atas hasil kerja buruk harus spesifik, Umpan balik negatif bisa mengarah pada iklim kelas yang negatif pula jika tidak dilakukan dengan benar. Kapan saja Anda memberikan komentar atas kinerja yang tidak baik dari siswa, haruslah jelas dan spesifik. Kesalahannya di mana, dan tunjukan apa yang seharusnya dilakukan siswa. Jangan memberi komentar tentang kepribadian siswa atau hal-hal lain di luar hasil belajarnya yang kurang baik (Sumber: Cashin, 1979)

Hindari komentar tanpa makna positif. Banyak siswa di kelas Anda yang cemas tentang kinerja dan kemampuan mereka. Sensitiflah, jangan memberikan komentar yang menyakitkan hati siswa, atau yang membuat siswa menjadi mempunyai perasaan bahwa dia memang tidak mampu.




Referensi


American Psychological Association. Learner-Centered Psychological Principles: Guidelines for School Redesign and Reform. Washington, D.C.: American Psychological Association, 1992.

Ames, R., and Ames, C. "Motivation and Effective Teaching." In B. F. Jones and L. Idol (eds.), Dimensions of Thinking and Cognitive Instruction. Hillsdale, N. J.: ErIbaum, 1990.

Angelo, T. A. "Ten Easy Pieces: Assessing Higher Learning in Four Dimensions." In T. A. Angelo (ed.), Classroom Research: Early Lessons from Success. New Directions for Teaching and Learning, no. 46. San Francisco: Jossey-Bass, 1991.

Bligh, D. A. What's the Use of Lecturing? Devon, England: Teaching Services Centre, University of Exeter, 1971.

Brock, S. C. Practitioners' Views on Teaching the Large Introductory College Course. Manhattan: Center for Faculty Evaluation and Development, Kansas State University, 1976.

Cashin, W. E. "Motivating Students." Idea Paper, no. 1. Manhattan: Center for Faculty Evaluation and Development in Higher Education, Kansas State University, 1979.

Daniel, J. W. "Survival Cards in Math." College Teaching, 1988, 36(3), 110.

Eble, K. E. The Craft of Teaching. (2nd ed.) San Francisco: Jossey-Bass, 1988.

Ericksen, S. C. "The Lecture." Memo to the Faculty, no. 60. Ann Arbor: Center for Research on Teaching and Learning, University of Michigan, 1978.

Erickson, B. L., and Strommer, D. W. Teaching College Freshmen. San Francisco: Jossey-Bass, 1991.

Fiore, N. "On Not Doing a Student's Homework." Chemistry TA Handbook. Berkeley: Chemistry Department, University of California, 1985.

Forsyth, D. R., and McMillan, J. H. "Practical Proposals for Motivating Students." In R. J. Menges and M. D. Svinicki (eds.), College Teaching: From Theory to Practice. New Directions in Teaching and Learning, no. 45. San Francisco: Jossey-Bass, 1991.

Lowman, J. Mastering the Techniques of Teaching. San Francisco: Jossey-Bass, 1984.

Lowman, J. "Promoting Motivation and Learning." College Teaching, 1990, 38(4), 136-39.

Lucas, A. F. "Using Psychological Models to Understand Student Motivation." In M. D. Svinicki (ed.), The Changing Face of College Teaching. New Directions for Teaching and Learning, no. 42. San Francisco: Jossey-Bass, 1990.

McKeachie, W. J. Teaching Tips. (8th ed.) Lexington, Mass.: Heath, 1986.

McMillan, J. H., and Forsyth, D. R. "What Theories of Motivation Say About Why Learners Learn." In R. J. Menges and M. D. Svinicki (eds.), College Teaching: From Theory to Practice. New Directions for Teaching and Learning, no. 45. San Francisco: Jossey-Bass, 1991.

Sass, E. J. "Motivation in the College Classroom: What Students Tell Us." Teaching of Psychology, 1989, 16(2), 86-88.

Tiberius, R. G. Small Group Teaching: A Trouble-Shooting Guide. Toronto: Ontario Institute for Studies in Education Press, 1990.

Weinert, F. E., and Kluwe, R. H. Metacognition, Motivation and Understanding. Hillsdale, N.J.: Erlbaum, 1987.