Analisis Korelasi dan Kausal
Hasan Mustafa
Tulisan ini disusun karena tidak sedikit peneliti yang menyamakan atau saling mempertukarkan analisis korelasi dengan analisis kausal atau sebab–akibat, padahal sesungguhnya atau seharusnya dibedakan. Ada penelitian yang judulnya “Pengaruh X terhadap Y”. Namun setelah penelitiannya dikaji dengan seksama ternyata temuan dari penelitian tersebut secara nyata mengarah pada penelitian korelasional ketimbang kausal. Peristiwa tersebut mungkin bisa saja dimaklumi karena dalam analisis kausal senantiasa mengandung unsur korelasional, walau tidak sebaliknya.
Korelasi
Ada peneliti yang tidak perduli apakah suatu variabel tergantung disebabkan atau dipengaruhi oleh adanya suatu variabel bebas tertentu. Dia tidak terlalu perduli apakah ada variabel bebas dan tergantung dalam penelitiannya, yang dia inginkan apakah ada hubungannya di antara satu variabel dengan satu atau beberapa variabel lainnya. Misalnya, ingin mengetahui apakah ada hubungan antara Nilai Ujian Saringan Masuk (NUSM) dengan Indeks Prestasi Mahasiswa (IPM). Atau ada penelitian yang menghubungkan tingkat kecerdasan (IQ) dengan keberhasilan hidup seseorang, tinggi badan dengan berat badan, nilai agama dengan kemakmuran ekonomi, jenis kelamin dengan kepuasan kerja, kerajinan melakukan kegiatan spriritual dengan tingkat kekebalan tubuh dan lain sebagainya.
Jika tujuannya adalah ingin mengetahui ada atau tidaknya hubungan, positif-negatif, besar kecilnya hubungan antar variabel maka jenis penelitiannya adalah penelitian korelasi. Proses yang umumnya dilakukan adalah dengan cara memperoleh data variabel X dan Y (jika dua variabel) , setelah itu data tersebut dianalisis dengan analisis korelasi. Misalnya, yang ingin diketahui adalah hubungan antara Nilai Ujian Sasingan Masuk (NUSM) dengan Indeks Prestasi (IP) mahasiswa. Cari data NUSM dan data IP mahasiswa yang dijadikan populasi atau sampel penelitian, lalu hitung skor hubungannya dengan menggunakan rumus statitik tertentu.
Setelah dihitung maka diperoleh skor korelasi yang berada di antara -1 sampai dengan 1. Kalau hasilnya minus berarti hubungannya negatif (kenaikan variabel X, diikuti oleh penurunan variabel Y atau sebaliknya). Kalau hasilnya plus berarti hubungannya positif ( kenaikan variabel X diikuti oleh kenaikan variabel Y atau sebaliknya). Kalau hasilnya = 0 atau sekitar 0 (0,00...) maka diantara variabel X dan Y tidak ada hubungan. Kemudian berdasarkan kriteria tertentu bisa ditentukan kategori besar kecilnya hubungan dan dengan cara perhitungan tertentu pula bisa diperoleh arti pentingnya (signifikansi) hubungan.
Ketika peneliti menemukan ternyata ada hubungan antara variabel X dan Y, maka peneliti bisa menyimpulkan besar kecilnya hubungan dan signifikan atau tidaknya hubungan, namun tidak bisa menyimpulkan bahwa nilai satu variabel mempengaruhi nilai variabel lainnya. Dalam kasus tersebut, peneliti tidak bisa meyimpulkan atau menginterpretasikan bahwa nilai USM merupakan variabel penyebab dari nilai IPK, karena pada hakikatnya yang menyebabkan IPK tinggi atau rendah adalah nilai-nilai akhir ujian (UTS, UAS, Tugas, Praktik, dst.) mahasiswa, bukan nilai ujian saringan masuk mahasiswa. Nilai ujian saringan masuk bukan merupakan penyebab nilai indeks prestasi mahasiswa. Artinya, antara nilai USM dan nilai IPK mahasiswa tidak terdapat hubungan kausal (sebab-akibat), walau di antara kedua variabel tersebut terdapat hubungan yang positif.
Contoh lain bisa memperjelas pernyataan bahwa hasil analisis hubungan tidak selalu dapat dimaknakan sebagai hasil analisis kausal. Berdasarkan penelitian, ditemukan kecenderungan bahwa tinggi badan seseorang mempunyai hubungan positif dengan berat badan. Artinya, makin tinggi badan seseorang makin besar berat badannya. Namun penemuan tersebut tidak mengatakan bahwa tinggi badan seseorang merupakan faktor penyebab berat badan. Jenis kelamin berkorelasi dengan tingkat kesabaran seseorang, namun bukan karena seseorang itu wanita maka dia menjadi sabar, atau disebabkan karena seseorang itu laki-laki maka dia tidak sabaran, walau di antara kedua variabel tersebut terdapat hubungan – yang signifikan sekali pun.
Kausal
Kadang peneliti tidak sekedar ingin mengetahui suatu variabel berkorelasi dengan variabel-variabel lainnya atau tidak. Yang ingin lebih diketahuinya adalah penyebab terjadinya atau munculnya variabel tergantung, atau variabel bebas apa yang menyebabkan munculnya variabel tergantung. Misalnya, apa yang menyebabkan para pegawai stress (variabel tergantung), apa yang menyebabkan volume penjualan menurun (variabel tergantung), apa yang menyebabkan konsumen tidak puas (variabel tergantung), Benarkah turunnya volume penjualan (variabel tergantung) disebabkan oleh iklan yang tidak tepat (variabel bebas)? Benarkan motivasi kerja seseorang rendah (variabel tergantung) disebabkan karena upah atau gajinya sedikit (variabel bebas)? dan lain sebagainya. Yang ingin diketahuinya adalah variabel apa yang menyebabkan semua hal yang negatif (simptom) itu muncul atau terjadi, dengan tujuan agar bisa memberikan jalan keluar atas masalah yang ada (stress kerja, volume penjualan menurun, konsumen tidak puas, dlsb)
Dalam konteks di atas, jenis penelitian yang seyogianya digunakan pastinya juga harus berbeda dengan penelitian yang tujuannya “sekedar” ingin mengetahui korelasi atau hubungan di antara dua variabel. Jika tujuan utamanya adalah ingin mengetahui adanya sebab-akibat (cause–effect) dalam suatu tatanan tertentu maka jenis penelitiannya adalah rancangan percobaan (experimental design) atau rancangan “causal-comparative”, bukan rancangan korelasional.
Umumnya penelitian kausal dilakukan di ilmu-ilmu non sosial. Seseorang yang ingin mengetahui pengaruh pemberian pupuk terhadap pertumbuhan tanaman akan melakukan berbagai eksperimen di laboratorium maupun di ”lapangan”. Karena pertumbuhan tanaman tidak hanya dipengaruhi oleh adanya pupuk maka agar benar-benar mengetahui pengaruh pupuk, maka variabel lain yang dipertimbangkan berpengaruh terhadap pertumbuhan tanaman, harus mampu dikendalikan.
Semua penelitian ilmiah dalam upaya mengetahui efek atau pengaruh suatu jenis obat terhadap penyembuhan penyakit harus merupakan penelitian yang menggunakan metode eksperimen yang dilakukan berkali-kali. Oleh karena itu, informasi tentang efektivitas atau pengaruh obat yang hanya berdasarkan pengakuan/pengalaman/testimoni/kesaksian seseorang atau sekelompok orang (umumnya dalam pengobatan alternatif) tidak dapat diterima oleh dunia kedokteran modern.
"Correlation does not imply causation" is a phrase used in science and statistics to emphasize that correlation between two variables does not automatically imply that one causes the other (though it does not remove the fact that correlation can still be a hint, whether powerful or otherwise[1][2]). The phrase's opposite, correlation proves causation, is a logical fallacy by which two events that occur together are claimed to have a cause-and-effect relationship. The fallacy is also known as cum hoc ergo propter hoc (Latin for "with this, therefore because of this") and false cause. By contrast, the fallacy post hoc ergo propter hoc requires that one event occur before the other and so may be considered a type of cum hoc. Dikopi dari Wikipedia, the free encyclopedia
Tidak jarang peneliti "menyalahgunakan" (biasanya tanpa disadari) rumus statistik guna menyatakan ada tidaknya pengaruh antara satu variabel terhadap variabel lainnya. Rumus statistik yang kerap digunakan untuk menjastifikasi adanya pengaruh variabel satu dengan variabel lainnya adalah Regresi. Memang benar, salah satu fungsi dari rumus tersebut adalah menghitung besarnya pengaruh, tetapi bukan menentukan ada tidaknya pengaruh. Ada tidaknya pengaruh tidak ditentukan oleh rumus regresi, namun oleh metode penelitiannya.
Penelitian kausal di ilmu administrasi atau manajemen.
Ketika seorang peneliti menetapkan judul ”Pengaruh besarnya upah terhadap tingkat kinerja pegawai”, secara eksplisit sudah menggambarkan metode penelitian apa yang seharusnya digunakan, yaitu rancangan eksperimen. Mengapa? Karena kata ”pengaruh sudah bermakna ”efek” atau ”akibat”. Peneliti secara sadar atau tidak, telah menempatkan satu variabel berstatus sebagai variabel bebas (besarnya upah), dan satu variabel lainnya berstatus sebagai variabel tergantung (tingkat kinerja).
Apa yang seharusnya dilakukan peneliti agar dia mengetahui ada atau tidaknya pengaruh antara besarnya upah terhadap kinerja pegawai? Pertama kita harus mengeti benar logika judul penelitian tadi. Kita semua sadar bahwa yang membuat kinerja seseorang itu baik atau tidak tidak hanya satu. Beberapa pakar kinerja mengatakan bahwa K = f (k,m,ks) Kinerja (K) adalah fungsi dari kemampuan (k), motivasi (m), dan kesempatan (ks). Lalu di mana letaknya ”besarnya upah”?. Pakar motivasi sangat sadar, salah satu cara meningkatkan motivasi adalah memberikan upah (imbalan). Dengan demikian urutan berpikirnya adalah : Upah berpengaruh terhadap motivasi, dan motivasi berpengaruh terhadap upah. Rumit memang!
Kedua, peneliti paling harus memilih sekelompok pegawai - sampel - (minimal 30?) yang mempunyai kemampuan (k) relatif sama, lalu diberikan pekerjaan – tugas (ks) yang sama. Janjikan dan kemudian berikan sejumlah upah kepada mereka, lalu hitung tingkat kinerjanya. Berikan lagi tugas janjikan dan berikan upah yang lebih besar, hitung tingkat kinerjanya. Berikan lagi tugas, janjikan dan berikan upah lebih besar atau lebih kecil lagi, lalu hitung tingkat kinerjanya. Proses ini berjalan terus menerus. Hitung perbedaan kinerja berdasarkan perbedaan upah. Uji nilai perbedaannya. Signifikan atau tidak? Yang menjadi pertanyaan :”Adakah perusahaan yang mau pegawainya diperlakukan seperti itu?” Jika memang ada, siapa yang menaikan dan menurunkan jumlah upah mereka?
Kalau tidak mungkin, cara yang paling benar adalah mengubah keinginan mengetahui pengaruh besarnya upah terhadap tingkat kinerja menjadi mengetahui hubungan antara besarnya upah dengan tingkat kinerja. Ambil sampel secara acak dari sekelompok pegawai yang jumlah upahnya bervariasi (variabel x) , kemudian ukur kinerja mereka masing-masing (variabel y). Korelasikan dengan rumus tertentu kedua variabel tersebut dan hitung signifikansinya. Walau analisis korelasi tidak bisa menjastifikasi adanya pengaruh, namun ketika korelasi antara satu variabel dengan variabel lainnya diujikan melalui berkali-kali penelitian dan ternyata senantiasa menunjukan hubungan yang sama dan signifikan, maka boleh saja disimpulkan bahwa nilai variabel x berperan atau ikut andil dalam menentukan nilai variabel y, namun tetap tidak bisa diartikan bahwa nilai atau eksistensi y disebabkan oleh karena (caused by) x.
Film “Supersize Me”
Salah satu judul film yang bisa menggambarkan jenis penelian kausal adalah “Supersize Me” . Dalam film tersebut diceritakan seseorang yang ingin mengetahui mengapa banyak orang Amerika (khususnya) berlebihan berat badan, dan akibatnya kesehatannya kurang baik. Dia curiga bahwa gara-gara makan McDonald terlalu berlebihan. Untuk “membuktikan” kecurigaannya tersebut dia menjadikan dirinya sebagai “kelinci percobaan”, yaitu selama 30 hari hanya makan McDonald. Sebelum memulai percobaannya (eksperimen), diperiksakan kesehatannya secara lengkap. Berat badannya, kolesterolnya, tekanan darah, denyut jantung, ketahan fisik, dan lain sebagainya oleh beberapa dokter akhli. Hasilnya, dengan usianya tersebut dia tergolong orang yang sehat.
Setelah itu dia mulai makan segala produk yang disajikan oleh McDonald – ayam goreng, kentang goreng, burger, minuman soda, dan lain sebagainya selama 30 hari. Catatan penting adalah dia tidak makan menu lainnya kecuali dari McDonald!. Setelah 30 hari berjalan, diperiksakan kembali kondisi badannya. Hasilnya ternyata kesehatan badannya terganggu banyak. Berat badanya bertambah, tekanan darahnya juga bertambah, kemampuan fisik berkurang, bahkan juga kemampuan seksualnya. Pesan moral yang saya bisa tangkap dari film tersebut adalah bukan melarang makan menu McDonald, melainkan hati-hati, jangan terlampau banyak.
Apa yang telah dilakukan sang aktor dalam film tersebut (dari kacamata metode penelitian) merupakan penelitian yang desainnya adalah “pretest-posttest” dengan tujuan untuk menguji apakah ada pengaruhnya makan menu McDonald terhadap kesehatan badan seseorang, tidak sekedar ingin mengetahui apakah ada korelasinya antara makan menu McDonald dengan kesehatan badan.
Bukankah ketika kita ingin mengetahui apakah merokok menyebabkan kanker, metode penelitiannya berbeda dengan jika kita "sekedar" ingin tahu apakah ada hubungan merokok dengan kanker?
Hasan Mustafa
Tulisan ini disusun karena tidak sedikit peneliti yang menyamakan atau saling mempertukarkan analisis korelasi dengan analisis kausal atau sebab–akibat, padahal sesungguhnya atau seharusnya dibedakan. Ada penelitian yang judulnya “Pengaruh X terhadap Y”. Namun setelah penelitiannya dikaji dengan seksama ternyata temuan dari penelitian tersebut secara nyata mengarah pada penelitian korelasional ketimbang kausal. Peristiwa tersebut mungkin bisa saja dimaklumi karena dalam analisis kausal senantiasa mengandung unsur korelasional, walau tidak sebaliknya.
Korelasi
Ada peneliti yang tidak perduli apakah suatu variabel tergantung disebabkan atau dipengaruhi oleh adanya suatu variabel bebas tertentu. Dia tidak terlalu perduli apakah ada variabel bebas dan tergantung dalam penelitiannya, yang dia inginkan apakah ada hubungannya di antara satu variabel dengan satu atau beberapa variabel lainnya. Misalnya, ingin mengetahui apakah ada hubungan antara Nilai Ujian Saringan Masuk (NUSM) dengan Indeks Prestasi Mahasiswa (IPM). Atau ada penelitian yang menghubungkan tingkat kecerdasan (IQ) dengan keberhasilan hidup seseorang, tinggi badan dengan berat badan, nilai agama dengan kemakmuran ekonomi, jenis kelamin dengan kepuasan kerja, kerajinan melakukan kegiatan spriritual dengan tingkat kekebalan tubuh dan lain sebagainya.
Jika tujuannya adalah ingin mengetahui ada atau tidaknya hubungan, positif-negatif, besar kecilnya hubungan antar variabel maka jenis penelitiannya adalah penelitian korelasi. Proses yang umumnya dilakukan adalah dengan cara memperoleh data variabel X dan Y (jika dua variabel) , setelah itu data tersebut dianalisis dengan analisis korelasi. Misalnya, yang ingin diketahui adalah hubungan antara Nilai Ujian Sasingan Masuk (NUSM) dengan Indeks Prestasi (IP) mahasiswa. Cari data NUSM dan data IP mahasiswa yang dijadikan populasi atau sampel penelitian, lalu hitung skor hubungannya dengan menggunakan rumus statitik tertentu.
Setelah dihitung maka diperoleh skor korelasi yang berada di antara -1 sampai dengan 1. Kalau hasilnya minus berarti hubungannya negatif (kenaikan variabel X, diikuti oleh penurunan variabel Y atau sebaliknya). Kalau hasilnya plus berarti hubungannya positif ( kenaikan variabel X diikuti oleh kenaikan variabel Y atau sebaliknya). Kalau hasilnya = 0 atau sekitar 0 (0,00...) maka diantara variabel X dan Y tidak ada hubungan. Kemudian berdasarkan kriteria tertentu bisa ditentukan kategori besar kecilnya hubungan dan dengan cara perhitungan tertentu pula bisa diperoleh arti pentingnya (signifikansi) hubungan.
Ketika peneliti menemukan ternyata ada hubungan antara variabel X dan Y, maka peneliti bisa menyimpulkan besar kecilnya hubungan dan signifikan atau tidaknya hubungan, namun tidak bisa menyimpulkan bahwa nilai satu variabel mempengaruhi nilai variabel lainnya. Dalam kasus tersebut, peneliti tidak bisa meyimpulkan atau menginterpretasikan bahwa nilai USM merupakan variabel penyebab dari nilai IPK, karena pada hakikatnya yang menyebabkan IPK tinggi atau rendah adalah nilai-nilai akhir ujian (UTS, UAS, Tugas, Praktik, dst.) mahasiswa, bukan nilai ujian saringan masuk mahasiswa. Nilai ujian saringan masuk bukan merupakan penyebab nilai indeks prestasi mahasiswa. Artinya, antara nilai USM dan nilai IPK mahasiswa tidak terdapat hubungan kausal (sebab-akibat), walau di antara kedua variabel tersebut terdapat hubungan yang positif.
Contoh lain bisa memperjelas pernyataan bahwa hasil analisis hubungan tidak selalu dapat dimaknakan sebagai hasil analisis kausal. Berdasarkan penelitian, ditemukan kecenderungan bahwa tinggi badan seseorang mempunyai hubungan positif dengan berat badan. Artinya, makin tinggi badan seseorang makin besar berat badannya. Namun penemuan tersebut tidak mengatakan bahwa tinggi badan seseorang merupakan faktor penyebab berat badan. Jenis kelamin berkorelasi dengan tingkat kesabaran seseorang, namun bukan karena seseorang itu wanita maka dia menjadi sabar, atau disebabkan karena seseorang itu laki-laki maka dia tidak sabaran, walau di antara kedua variabel tersebut terdapat hubungan – yang signifikan sekali pun.
Kausal
Kadang peneliti tidak sekedar ingin mengetahui suatu variabel berkorelasi dengan variabel-variabel lainnya atau tidak. Yang ingin lebih diketahuinya adalah penyebab terjadinya atau munculnya variabel tergantung, atau variabel bebas apa yang menyebabkan munculnya variabel tergantung. Misalnya, apa yang menyebabkan para pegawai stress (variabel tergantung), apa yang menyebabkan volume penjualan menurun (variabel tergantung), apa yang menyebabkan konsumen tidak puas (variabel tergantung), Benarkah turunnya volume penjualan (variabel tergantung) disebabkan oleh iklan yang tidak tepat (variabel bebas)? Benarkan motivasi kerja seseorang rendah (variabel tergantung) disebabkan karena upah atau gajinya sedikit (variabel bebas)? dan lain sebagainya. Yang ingin diketahuinya adalah variabel apa yang menyebabkan semua hal yang negatif (simptom) itu muncul atau terjadi, dengan tujuan agar bisa memberikan jalan keluar atas masalah yang ada (stress kerja, volume penjualan menurun, konsumen tidak puas, dlsb)
Dalam konteks di atas, jenis penelitian yang seyogianya digunakan pastinya juga harus berbeda dengan penelitian yang tujuannya “sekedar” ingin mengetahui korelasi atau hubungan di antara dua variabel. Jika tujuan utamanya adalah ingin mengetahui adanya sebab-akibat (cause–effect) dalam suatu tatanan tertentu maka jenis penelitiannya adalah rancangan percobaan (experimental design) atau rancangan “causal-comparative”, bukan rancangan korelasional.
Umumnya penelitian kausal dilakukan di ilmu-ilmu non sosial. Seseorang yang ingin mengetahui pengaruh pemberian pupuk terhadap pertumbuhan tanaman akan melakukan berbagai eksperimen di laboratorium maupun di ”lapangan”. Karena pertumbuhan tanaman tidak hanya dipengaruhi oleh adanya pupuk maka agar benar-benar mengetahui pengaruh pupuk, maka variabel lain yang dipertimbangkan berpengaruh terhadap pertumbuhan tanaman, harus mampu dikendalikan.
Semua penelitian ilmiah dalam upaya mengetahui efek atau pengaruh suatu jenis obat terhadap penyembuhan penyakit harus merupakan penelitian yang menggunakan metode eksperimen yang dilakukan berkali-kali. Oleh karena itu, informasi tentang efektivitas atau pengaruh obat yang hanya berdasarkan pengakuan/pengalaman/testimoni/kesaksian seseorang atau sekelompok orang (umumnya dalam pengobatan alternatif) tidak dapat diterima oleh dunia kedokteran modern.
"Correlation does not imply causation" is a phrase used in science and statistics to emphasize that correlation between two variables does not automatically imply that one causes the other (though it does not remove the fact that correlation can still be a hint, whether powerful or otherwise[1][2]). The phrase's opposite, correlation proves causation, is a logical fallacy by which two events that occur together are claimed to have a cause-and-effect relationship. The fallacy is also known as cum hoc ergo propter hoc (Latin for "with this, therefore because of this") and false cause. By contrast, the fallacy post hoc ergo propter hoc requires that one event occur before the other and so may be considered a type of cum hoc. Dikopi dari Wikipedia, the free encyclopedia
Tidak jarang peneliti "menyalahgunakan" (biasanya tanpa disadari) rumus statistik guna menyatakan ada tidaknya pengaruh antara satu variabel terhadap variabel lainnya. Rumus statistik yang kerap digunakan untuk menjastifikasi adanya pengaruh variabel satu dengan variabel lainnya adalah Regresi. Memang benar, salah satu fungsi dari rumus tersebut adalah menghitung besarnya pengaruh, tetapi bukan menentukan ada tidaknya pengaruh. Ada tidaknya pengaruh tidak ditentukan oleh rumus regresi, namun oleh metode penelitiannya.
Penelitian kausal di ilmu administrasi atau manajemen.
Ketika seorang peneliti menetapkan judul ”Pengaruh besarnya upah terhadap tingkat kinerja pegawai”, secara eksplisit sudah menggambarkan metode penelitian apa yang seharusnya digunakan, yaitu rancangan eksperimen. Mengapa? Karena kata ”pengaruh sudah bermakna ”efek” atau ”akibat”. Peneliti secara sadar atau tidak, telah menempatkan satu variabel berstatus sebagai variabel bebas (besarnya upah), dan satu variabel lainnya berstatus sebagai variabel tergantung (tingkat kinerja).
Apa yang seharusnya dilakukan peneliti agar dia mengetahui ada atau tidaknya pengaruh antara besarnya upah terhadap kinerja pegawai? Pertama kita harus mengeti benar logika judul penelitian tadi. Kita semua sadar bahwa yang membuat kinerja seseorang itu baik atau tidak tidak hanya satu. Beberapa pakar kinerja mengatakan bahwa K = f (k,m,ks) Kinerja (K) adalah fungsi dari kemampuan (k), motivasi (m), dan kesempatan (ks). Lalu di mana letaknya ”besarnya upah”?. Pakar motivasi sangat sadar, salah satu cara meningkatkan motivasi adalah memberikan upah (imbalan). Dengan demikian urutan berpikirnya adalah : Upah berpengaruh terhadap motivasi, dan motivasi berpengaruh terhadap upah. Rumit memang!
Kedua, peneliti paling harus memilih sekelompok pegawai - sampel - (minimal 30?) yang mempunyai kemampuan (k) relatif sama, lalu diberikan pekerjaan – tugas (ks) yang sama. Janjikan dan kemudian berikan sejumlah upah kepada mereka, lalu hitung tingkat kinerjanya. Berikan lagi tugas janjikan dan berikan upah yang lebih besar, hitung tingkat kinerjanya. Berikan lagi tugas, janjikan dan berikan upah lebih besar atau lebih kecil lagi, lalu hitung tingkat kinerjanya. Proses ini berjalan terus menerus. Hitung perbedaan kinerja berdasarkan perbedaan upah. Uji nilai perbedaannya. Signifikan atau tidak? Yang menjadi pertanyaan :”Adakah perusahaan yang mau pegawainya diperlakukan seperti itu?” Jika memang ada, siapa yang menaikan dan menurunkan jumlah upah mereka?
Kalau tidak mungkin, cara yang paling benar adalah mengubah keinginan mengetahui pengaruh besarnya upah terhadap tingkat kinerja menjadi mengetahui hubungan antara besarnya upah dengan tingkat kinerja. Ambil sampel secara acak dari sekelompok pegawai yang jumlah upahnya bervariasi (variabel x) , kemudian ukur kinerja mereka masing-masing (variabel y). Korelasikan dengan rumus tertentu kedua variabel tersebut dan hitung signifikansinya. Walau analisis korelasi tidak bisa menjastifikasi adanya pengaruh, namun ketika korelasi antara satu variabel dengan variabel lainnya diujikan melalui berkali-kali penelitian dan ternyata senantiasa menunjukan hubungan yang sama dan signifikan, maka boleh saja disimpulkan bahwa nilai variabel x berperan atau ikut andil dalam menentukan nilai variabel y, namun tetap tidak bisa diartikan bahwa nilai atau eksistensi y disebabkan oleh karena (caused by) x.
Film “Supersize Me”
Salah satu judul film yang bisa menggambarkan jenis penelian kausal adalah “Supersize Me” . Dalam film tersebut diceritakan seseorang yang ingin mengetahui mengapa banyak orang Amerika (khususnya) berlebihan berat badan, dan akibatnya kesehatannya kurang baik. Dia curiga bahwa gara-gara makan McDonald terlalu berlebihan. Untuk “membuktikan” kecurigaannya tersebut dia menjadikan dirinya sebagai “kelinci percobaan”, yaitu selama 30 hari hanya makan McDonald. Sebelum memulai percobaannya (eksperimen), diperiksakan kesehatannya secara lengkap. Berat badannya, kolesterolnya, tekanan darah, denyut jantung, ketahan fisik, dan lain sebagainya oleh beberapa dokter akhli. Hasilnya, dengan usianya tersebut dia tergolong orang yang sehat.
Setelah itu dia mulai makan segala produk yang disajikan oleh McDonald – ayam goreng, kentang goreng, burger, minuman soda, dan lain sebagainya selama 30 hari. Catatan penting adalah dia tidak makan menu lainnya kecuali dari McDonald!. Setelah 30 hari berjalan, diperiksakan kembali kondisi badannya. Hasilnya ternyata kesehatan badannya terganggu banyak. Berat badanya bertambah, tekanan darahnya juga bertambah, kemampuan fisik berkurang, bahkan juga kemampuan seksualnya. Pesan moral yang saya bisa tangkap dari film tersebut adalah bukan melarang makan menu McDonald, melainkan hati-hati, jangan terlampau banyak.
Apa yang telah dilakukan sang aktor dalam film tersebut (dari kacamata metode penelitian) merupakan penelitian yang desainnya adalah “pretest-posttest” dengan tujuan untuk menguji apakah ada pengaruhnya makan menu McDonald terhadap kesehatan badan seseorang, tidak sekedar ingin mengetahui apakah ada korelasinya antara makan menu McDonald dengan kesehatan badan.
Bukankah ketika kita ingin mengetahui apakah merokok menyebabkan kanker, metode penelitiannya berbeda dengan jika kita "sekedar" ingin tahu apakah ada hubungan merokok dengan kanker?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar